Following Me are:

Jumat, Oktober 29, 2010

Konsep Diri

DWI PUTRI RAHMAWATI

0806319860

SELF CONCEPT

Saya lahir dari keluarga yang sederhana. Anak terakhir dari dua bersaudara. Tinggi badan saya tidak terlalu tinggi, hanya 160 cm. Sedangkan berat badan saya, dibilang berat iya, dibilang kurus juga tidak, yaitu 53 kg. Seringkali saya merasa tidak percaya diri dengan bentuk tubuh saya yang kurang membentuk body. Banyak orang bilang bahwa badan saya ‘gendut’. Namun, entah mengapa saya selalu menanamkan pikirian di otak saya bahwa ‘tubuh aku sexy’. Saya merasa memiliki tubuh yang sexy, tinggi badan semampai dan memiliki berat badan yang ideal. Sehingga, rasa percaya diri itu hilang seketika saat berpikiran positif tentang diri saya.

Merasa minder pula dengan warna kulit saya yang tidak putih dan wajah berjerawat. Apalagi saya selalu berada di kalangan teman-teman yang sejurusan, memiliki wajah yang cantik, putih, cerah, tidak ada jerawat, mulus, dan pokoknya perfect abis! Di dalam benak saya, pasti mereka melakukan perawatan yang mahal ke dokter kecantikan. Mereka rela merogoh kocek uang yang tentu saja tidak murah jika terdapat noda sedikit di wajahnya. Sedangkan saya, harus berpikir panjang untuk melakukan hal tersebut. Untuk makan saja susah apalagi untuk perawatan yang harganya berjuta-juta.

Sifat jelek saya yang paling sering muncul setiap waktu adalah perubahan moody. Pernah saya alami, bepergian bersama teman-teman ke sebuah tempat yang menyenangkan cocok untuk refreshing. Selama perjalanan, saya enjoy bercanda tawa ria dengan mereka di kereta. Ditengah pembicaraan, saya merasa tidak tahu apa yang sedang dibicarakan, sehingga saya berubah mood dan banyak diam.

Setiap saya berpakaian, selalu saja teman-teman berkomentar mengenai gaya berpakaian saya. Komentar tersebut ada yang membuat sanjungan dan ada pula yang tidak suka dengan gaya penampilan saya. Selalu saya meminta pendapat orang lain untuk menilai penampilan saya. ‘bagus gak aku pakai ini?’ ‘cocok gak?’ ‘aku lebih cocok pakai yang ini atau yang itu?’ Semuanya bergantung pada pendapat orang lain. Namun jika orang lain menyarankan sesuatu, saya tidak langsung menerima saran itu tetapi saya timbang-timbang dahulu, apakah saran itu benar-benar cocok untuk saya, apakah saran itu dapat dipakai untuk kedepannya. Dari sekian banyak pendapat saya melakukan seleksi, manakah yang lebih cocok untuk saya.

Tidak selamanya saya mengikuti pendapat orang lain. Apabila saya suka dengan sesuatu, pasti saya ambil. Saya menganggap bahwa pendapat saya untuk saya itu benar dan cocok untuk saya. Tidak menghiraukan pendapat orang lain sedikit pun. Bebas berekspresi. Namun, itu semua memunculkan persepsi orang lain yang tidak suka terhadap penampilan saya. Norak lah, berdandan ala tante-tante lah, dan sebagainya. Tetapi bagi saya, itu tidak norak, apa yang saya pakai biasa saja. Hanya saja pandangan orang yang berlebihan dan mungkin tidak pernah melihat wanita berpakaian seperti itu.

Saya sering bercermin, melakukan ekspresi wajah, bagaimana sih wajah saya saat menangis, tertawa, sedih, merenung, bergaya di depan kamera, berbicara, heran, dan sebagainya. Sehingga saya tahu dimana ekspresi jelek dan manisnya wajah saya. Melakukan hal itu sangatlah asyik. Terkadang saya berbicara di depan cermin dan bercerita tentang keluh kesah saya, kangen pada orang tua, kesal dengan pacar, dan sebagainya. Sampai-sampai saya terlarut dalam isak tangis. Hati saya menjadi lega dan puas dengan melimpahkannya pada cermin.

Yang mempengaruhi konsep diri saya adalah persepsi orang lain terhadap diri saya sendiri. Rambut saya sering teruarai. Saya merasa tidak cocok jika rambut saya di cepol. Sampai suatu ketika, teman saya menganjurkan saya untuk mencepol rambut saya seperti rambut temannya yang terlihat elegan jika rambutnya di cepol. Ia sangat bosan melihat rambut saya tergerai terus. Kemudian, saya mengikuti sarannya. Alhasil, ternyata saya cocok di cepol dan terlihat elegan. Secara tidak langsung saya terpengaruh dengan perkataan teman saya. Saya tersugesti olehnya. Sampai sekarangpun, saya lebih suka memainkan rambut dengan berbagai gaya.

Konsep diri saya cenderung berubah karena terpengaruh oleh lingkungan sekitar, situasi, media, orang lain, dan waktu. Saya tergolong orang yang tidak konsisten dalam menentukan sesuatu hal. Saya lebih terpengaruh dengan hal-hal yang lebih baik namun terkadang itu menjerumuskan saya. Seperti, dari kecil hingga SMA saya dididik untuk mematuhi peraturan yang ada. Selama itu saya berusaha untuk berprestasi terus dan tidak mencari masalah dalam sekolah. Saya termasuk anak yang suka tampil didepan umum saat SMA. Hampir tidak pernah melanggar peraturan sekolah. Orang tua dipanggil ke sekolah bukan karena saya mendapat hukuman, tetapi saya berprestasi. Namun beda halnya dengan sekarang. Dulu saya bergaul dengan teman-teman yang punya semangat belajar dan tidak urak-urakan. Sekarang, saya berteman dengan orang yang bandel dari dulunya, dan saya terpengaruh olehnya. Sering cabut kuliah dan terlambat mengumpulkan tugas. Saya akui saya sadar melakukan itu semua. Saya merasakan beda sekali. Lebih sering merasakan was-was karena sering cabut kuliah dan telat mengumpulkan tugas. Ingin rasanya menghilangkan kebiasaan jelek itu dan kembali seperti dulu. Tetapi susah bagi saya untuk mengubahnya karena saya mudah dipengaruhi orang lain dan selalu merasa kasihan terhadap orang padahal itu merugikan diri saya sendiri.

Pengaruh Sosial-Kelompok

DWI PUTRI RAHMAWATI

0806319860

ADVERTISING

Pengaruh Sosial

Geng Sahabat Lebih Berperan Hebat

Membentuk suatu kelompok tertentu sangat berpengaruh dalam hidup saya. Dari suatu kelompok itulah saya mendapat berbagai informasi sekaligus membentuk konsep diri saya. Dengan membentuk suatu kelompok pula saya memiliki banyak relasi (teman), tentunya dengan berinteraksi didalamnya. Dalam suatu kelompok, saya menemukan banyak sekali kecocokan dan ketidakcocokan antar anggota. Disinilah saya dituntut untuk menentukan sikap yang tepat dalam menghadapi suatu kondisi tertentu.

Selama 5 tahun saya mengikuti organisasi Marching Band ketika saya duduk di bangku SMP. Semasa pelatihan, anggota yang tergabung dalam Marching Band ini dituntut harus disiplin keras, professional, cepat, dan tegas. Tenaga terkuras habis saat mengikuti latihan untuk persiapan Lomba Nasional di Palembang. Walaupun terasa sangat letih dan lelah, saya merasa senang karena selalu bertemu dengan teman-teman dan pelatihnya yang lumayan ganteng. Memang, waktunya latihan harus serius, tetapi selalu ada kesempatan untuk bercanda tawa dengan teman-teman dan pelatih-pelatihnya saat break time tiba. Rasa kebersamaan kami tumbuh menjadi lebih kuat. Yang semula kami cuek dan tidak peduli pada teman yang lain, berubah menjadi care and friendly. Organisasi ini terdapat banyak anggota, nah…tidak menutup kemungkinan bagi setiap individu untuk membentuk suatu kelompok kecil didalamnya atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan Geng. Itulah yang terjadi pada saya. Secara alamiah, saya dan beberapa teman membentuk geng, dimana kami saling berbagi cerita dan berkumpul bersama saat break time tiba. Secara pribadi, saya sadar mengalami perubahan dalam bergaul. Yang tadinya saya sangat berhati-hati bersikap terhadap orang lain, kini berubah, saya menjadi jail/usil terhadap orang lain. Dalam geng ini, saya lebih dekat atau lebih terbuka dengan salah satu anggota geng. Kenapa? Karena saya dan dia memiliki kesamaan, diantaranya hobi, suku, dan kebiasaan. Di luar organisasi ini, saya pun lebih enjoy berpergian dengannya.

Semasa SMA, saya mengikuti beberapa organisasi, diantaranya SRC (Student Representative Council), Extracurricular: Marching Band, Dance Club, Mandarin Club, English Club, Choir, Drama/Performing Arts Club, dan Panitia Aids Day.

Di sekolah saya, OSIS memakai nama SRC. Disini, saya dilatih untuk membuat berbagai macam event yang menarik dan bagaimana untuk mengajukan proposal untuk sponsor dan persetujuan. Saya dituntut untuk berkerja sama dengan anggota lain agar mencapai target tertentu. Terdapat berbagai bentuk pendapat dari anggota dan kami harus diskusi menentukan pilihan mana yang tepat untuk di apply. Percekcokan antar anggota pun terjadi. Ada yang memilih untuk mengalah dan ada juga yang ngotot agar pendapatnya diterima dan dipilih. Namun, kesemuanya itu dilandaskan atas dasar kebersamaan dan tujuan yang sama.

Selain itu juga, saya berkecimpung dalam beberapa extracurricular yang telah saya sebutkan sebelumnya. Disini saya lebih enjoy dalam menyalurkan talenta yang saya miliki dan berekspresi penuh. Kami harus kompak dan selaras dalam extracurricular ini. Dalam Dance Club, saya harus bekerja sama dengan anggota lain untuk membuat gerakan yang fantastic dan memilih music serta kostum yang akan digunakan. Begitu juga dalam Drama/Performing Arts, saya harus berinteraksi dengan dekat pada para pemain/actor. Supaya tumbuh chemistry antara saya dengan lawan main. Saling member tahu dan mengingatkan jika terdapat kekurangan.

Saya juga ikut dalam kepanitiaan event Aids Day. Menjadi panitia bukanlah hal yang mudah karena pasti sibuk mengurusi segala macam keperluan dalam event tersebut. Disini saya dituntut untuk bekerja sama, disiplin, dan professional dalam bertindak. Hal ini melatih saya untuk menjadi jiwa pemimpin dikemudian hari.

Ada yang lebih personal lagi, yaitu geng sahabat. Saya memiliki tiga orang sahabat. Saya dan ketiga sahabat saya memiliki ciri yang khas dan berbeda-beda. Saya cenderung lebih demokratis untuk mengambil keputusan. Sahabat 1 lebih memilih untuk mengalah atau diam saja, dalam artian ikutan saja. Sahabat 2 cenderung ingin menang sendiri dan menganggap bahwa pendapatnya selalu benar. Sahabat 3, selalu mencari sensasi karena ingin popular dan ingin dikenal. Dalam perbedaan tersebut tak jarang kami mengakami perelisihan hanya karena hal yang sepele. Kata orang, persahabatan tanpa masalah serasa masak sayur tanpa bumbu. Memang benar saya akui. Masalah yang terjadi dalam geng melatih saya untuk menjadi lebh dewasa dalam menentukan suatu solusi. Nah, inilah dibutuhkan kebersamaan agar tidak terpecah.

Sampai suatu ketika, saya dan sahabat mengalami salah tanggap akan sesuatu. Menurutnya, ini bukan hal yang sepele. Namun, menurut saya ini hanyalah hal sepele yang sebenarnya tidak perlu meminta untuk membubarkan geng ini. Karena keegoisan dan tidak mengerti satu sama lain akhirnya mereka memutuskan untuk membubarkan persahabatan ini. Akan tetapi, saya sebagai penengah disini, harus mencairkan situasi yang panas itu. Dalam menjalin sebuah hubungan, seharusnya kita membawa sikap yang peduli dan pengertian, dimana kita bisa menempatkan diri kita sebagai orang lain. Dengan demikian, apa yang orang lain rasakan dan alami dapat kita rasakan.

Sekarang, saya terlibat dalam organisasi Share BEM UI. Kami sebagai anggota, masih belum mengenal satu sama lain. Sehingga, kami harus bersosialisasi agar kegiatan selanjutnya menjadi lancar. Disini, saya harus peka terhadap fenomena sosial yang terjadi disekitar kita. Belajar untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain. Sehingga, kita dapat memberikan solusi yang tepat untuk menangani masalah sosial tersebut.

Kelompok yang paling luas jangkauannya adalah menjalin relation melalui dunia maya (cyber). Salah satu situs yang digemari oleh kebanyakan kalangan yaitu Facebook. Kalangan terbesar yang menggunakan Facebook adalah kalangan ibu rumah tangga dan kalangan remaja. Beberapa dari mereka yang menggunakan Facebook dalam menjalin relation dengan orang lain merupakan orang yang super sibuk dan lebih menyukai pertemanan di dunia cyber seperti ini. Facebook bagi saya sangat bermanfaat sekali karena saya dapat membangun jejaring-jejaring bukan hanya di Indonesia saja tetapi juga di luar negeri. Sampai saat ini, saya memiliki teman yang tinggal di luar negeri cukup banyak. Tentu saja mereka teman dari teman saya. Selain itu juga, saya mendapatkan berbagai informasi terbaru sehingga tidak tertinggal berita. Berbagai pengumuman/pemberitahuan, seperti scholarship, event, dan bisnis, juga mudah untuk didapatkan. Teman-teman lama yang lost-communication dapat dicari di Facebook ini. Sehingga, hubungan menjadi lebih erat. Facebook ini telah mempengaruhi tindakan saya sehari-hari. Yang awalnya hemat uang makan, sekarang menjadi bertambah pengeluarannya karena harus membeli pulsa modem internet. Saya akui telah kecanduan Facebook. Sebagai Facebookers setia, setiap waktu membuka situs dan update status.

Dalam situs Facebook, terdapat berbagai macam group yang dibuat untuk menunjukkan bahwa kita bergabung pada suatu komunitas tertentu. Sehingga, kita mendapatkan segala informasi mengenai group tersebut.

Saya juga bergabung dalam SUGAR GROUP Scholars UI. Sebagai orang yang terpilih mendapatkan beasiswa dari perusahaan gula ini, saya telah menandatangani kontrak yang telah disepakati. Disini saya dan anggota yang lain mendapatkan tugas untuk road show ke sekolah. Saya memilih untuk masuk pada Session Brain Storming. Saya merangkap menjadi Presenternya. Disitulah saya harus menjaga moody saya agar suasana di ruangan tersebut tetap semangat dan menarik.

Bagi saya, yang paling berperan penting dalam pembentukan atau berpengaruh dalam diri saya adalah Geng sahabat. Karena hampir setiap waktu saya habiskan dengan berkumpul dengan mereka. Segala sikap jelek saya menjadi berkurang akibat pencerminan dan evaluasi masing-masing.

Pendekatan Psikologi Komunikasi

Dwi Putri Rahmawati

0806319860

Psikologi Komunikasi

Saya mengambil contoh kasus dari suatu sumber yaitu mengenai Penembakan mati dua polisi oleh perampok terjadi di sebuah bank Kota Pinang, Labuhan Ratu. Para perampok berhasil menembak mati dua polisi dan berhasil kabur dengan membawa uang hasil curiannya. Saat menjalankan aksinya, wajah para perampok ditutupi dengan kain sebo sehingga polisi sulit mengetahui identitas para perampok tersebut. Aksi perampokan tersebut terjadi pukul 10 pagi yang diawali dengan datangnya sebuah Daihatsu Troper memiliki plat BM. Beberapa penumpang mobil itu berbondong-bondong turun begitu berhenti di parkiran. Para perampok langsung memberondongkan tembakan ke udara. Kemudian, enam perampok segera masuk ke bank lalu menodong kasir dan memaksanya untuk mengumpulkan uang di bank. Beberapa kasir yang ketakutan sesegera mengambil semua uang seperti yang diperintah oleh perampok. Masyarakat yang melihat dan mengalami peristiwa tersebut mungkin mengungkapkan bahwa hal itu sangat mengerikan, menakutkan, mengherankan, membencinya, dan bahkan mengalami trauma psikologis.

Perilaku kriminal merupakan representasi dari identitas yang tidak terkendalikan oleh ego dan super ego. Identitas adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia pusat insting (hawa nafsu dalam kamus agama). Identitas ini merupakan impuls yang memiliki prinsip kenikmatan (Pleasure Principle). Ketika prinsip itu dikembangkan, super ego terlalu lemah untuk mengontrol impuls yang hedonistik. Pada akhirnya, perilaku untuk sekehendak hati asalkan menyenangkan muncul dalam diri seseorang. Super ego lemah disebabkan oleh resolusi yang tidak baik dalam menghadapi konflik.

Ego adalah mediator antara hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistik. Ego-lah yang menyebabkan manusia mampu menundukan hasrat hewaninya. Ia bergerak berdasarkan prinsip realitas (reality principle). Superego adalah polisi kepribadian, mewakili yang ideal.Superego adalah hati nurani (conscience) yang merupakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural masyarakatnya. Ia memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang tak berlainan ke alam bawah sadar.

Tindakan kriminal dapat disebabkan juga karena rasa cemburu pada sesuatu yang tidak terselesaikan, sehingga individu senang melakukan tindak kriminal untuk mendapatkan hukuman agar merasa diperhatikan. Seorang psikoanalist, Bowlby menyatakan bahwa aktivitas kriminal merupakan pengganti dari rasa cinta dan afeksi. Umumnya kriminalitas dilakukan pada saat hilangnya ikatan cinta ibu-anak.

Anggapan dasar dari kasus ini di lihat dari pendekatan psikoanalisis adalah perilaku masyarakat ditentukan oleh insting bawaan yang sebagian besar tidak disadari oleh mereka sendiri. Proses ketidaksadaran tersebut merupakan proses terpengaruhnya perilaku oleh pikiran, ketakutan atau keinginan-keinginan yang tidak disadari oleh mereka. Maka dalam kasus tersebut, masyarakat yang mengalami peristiwa tersebut kemungkinan mengalami trauma psikologi akibat perilaku-perilaku para perampok.

Para perampok memiliki keinginan untuk memuaskan diri mereka. Sehingga, apapun caranya mereka akan lakukan demi tercapainya suatu keinginan yang memuaskan tersebut. Hal itu terjadi oleh insting bawaan yang sebagian besar tidak disadari. Tak menutup kemungkinan bahwa para perampok akan trus melakukan tindakan kriminal demi keinginan yang dilandasi ketidaksadarnya insting mereka.

Dalam buku psikologi kepribadian yang ditulis oleh Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Id disebut sebagai suatu sistem kepribadian yang asli, dimana dari sinilah ego dan super ego berasal. Namun melihat dari strukturnya, Id lebih tepat dikatakan sebagai sistem “dorongan internal” daripada dikatakan sebagai suatu sistem “kepribadian”.

Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Id itu sendiri merupakan reservoir energi yang cenderung mencari pelampiasan dan pemenuhan kepuasan sehingga perlu dikontrol dengan sistem kepribadian yang lain. Id hanya mampu melihat dunia secara subyektif, karena memang ia diciptakan tanpa adanya pertimbangan secara obyektif dari dunia sekitarnya. Jadi, Id hanya memiliki kekuatan untuk mendorong pada usaha real untuk memuaskan keinginannya dan meredakan ketegangan yang dialami.

The Need for Relatedness Itu Kebutuhan Interpersonal

The Need for Relatedness Itu Kebutuhan Interpersonal

Setiap individu di dunia ini pasti membutuhkan orang lain. Mengapa? Karena kita adalah manusia, dan manusia adalah mahluk sosial. Menurut Baumeister & Leary (1995), pada dasarnya setiap manusia memang memiliki sejumlah kebutuhan interpersonal. Kebutuhan interpersonal adalah kebutuhan untuk saling berhubungan satu sama lain dengan orang lain. Kebutuhan ini merupakan bagian dari kebutuhan psikososial yang disebut sebagai the need for relatedness.

The need for relatedness mengacu kepada kebutuhan menjadi bagian dari sebuah komunitas, sebuah kelompok, sebuah keluarga, untuk terkoneksi dengan orang lain, untuk saling berinteraksi dengan orang-orang, punya sahabat dan teman – need for affiliation, dan memiliki keterikatan – need for attachment dengan orang lain, dan terutama untuk mengalami keakraban, hubungan yang hangat, keintiman, dan kedekatan sebagai pribadi – need for intimacy. (Westen, 2005, Psychology, 4th edition).

Kebutuhan-kebutuhan tersebut selain perlu untuk dapat dipenuhi secara benar, juga membutuhkan media untuk mengekspresikannya. Pemenuhan kebutuhan tersebut secara benar, maksudnya dilakukan secara baik, dengan orang-orang yang baik juga, dan dalam porsi yang pas akan membuat sebagai pribadi kita menjadi sehat secara emosional dan psikologis. Bicara tentang pemenuhan kebutuhan interpersonal kita, pada saat kita berinteraksi dengan orang lain, bisa dilakukan melalui seluruh jendela indera kita.

Beberapa ahli mengemukakan beberapa definisi hubungan interpersonal yang hampir senada. Dicks (1951) dan Heider (1958) mendefinisikan hubungan interpersonal sebagai hubungan erat yang terjadi diantara dua individu atau lebih.

Untuk menumbuhkan dan meningkatkan hubungan interpersonal, kita perlu meningkatkan kualitas komunikasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal adalah:

Percaya/trust. Bila seseorang punya perasaan bahwa dirinya tidak akan dirugikan, tidak akan dikhianati, maka orang itu pasti akan lebih mudah membuka dirinya. Percaya pada orang lain akan tumbuh bila ada faktor-faktor sebagai berikut: (1.) karakteristik dan maksud orang lain, artinya orang tersebut memiliki kemampuan, ketrampilan, pengalaman dalam bidang tertentu. Orang itu memiliki sifat-sifat bisa diduga, diandalkan, jujur dan konsisten. (2.) Hubungan kekuasaan, artinya apabila seseorang mempunyai kekuasaan terhadap orang lain, maka orang itu patuh dan tunduk. (3.) Kualitas komunikasi dan sifatnya menggambarkan adanya keterbukaan. Bila maksud dan tujuan sudah jelas, harapan sudah dinyatakan, maka sikap percaya akan tumbuh.

Prilaku suportif akan meningkatkan komunikasi. Beberapa ciri prilaku suportif yaitu: (1.) deskripsi: penyampaian pesan, perasaan dan persepsi tanpa menilai atau mengecam kelemahan dan kekurangannya. (2.) Orientasi masalah: mengkomunikasikan keinginan untuk kerja sama, mencari pemecahan masalah. Mengajak orang lain bersama-sama menetapkan tujuan dan menentukan cara mencapai tujuan. (3.) Spontanitas: sikap jujur dan dianggap tidak menyelimuti motif yang terpendam. (4.) Empati: menganggap orang lain sebagai persona. (5.) Persamaan: tidak mempertegas perbedaan, komunikasi tidak melihat perbedaan walaupun status berbeda, penghargaan dan rasa hormat terhadap perbedaan-perbedaan pandangan dan keyakinan. (6.) Profesionalisme: kesediaan untuk meninjau kembali pendapat sendiri.

Sikap terbuka, kemampuan menilai secara objektif, kemampuan membedakan dengan mudah, kemampuan melihat nuansa, orientasi ke isi, pencarian informasi dari berbagai sumber, kesediaan mengubah keyakinannya, profesional dan lain sebagainya.

Agar komunikasi interpersonal yang dilakukan menghasilkan hubungan interpersonal yang efektif dan kerja sama bisa ditingkatkan, kita perlu bersikap terbuka dan menggantikan sikap dogmatis. Kita perlu juga memiliki sikap percaya, sikap mendukung, dan terbuka yang mendorong timbulnya sikap saling memahami, menghargai dan saling mengembangkan kualitas. Hubungan interpersonal perlu ditumbuhkan dan ditingkatkan dengan memperbaiki hubungan dan kerjasama antara berbagai pihak, tidak terkecuali dalam lembaga pendidikan.

Penelitian lintas budaya terhadap masyarakata Jepang, China, dan Amerika yang dilakukan oleh Gudykunst (dalam Smith & Bond, 1995)membuktikan bahwa latar belakang budaya juga berpengaruh terhadap hubungan interpersonal seseorang. Melalui penelitian ini, diketahui bahwa masyarakat dengan budaya timur lebih kooperatif, mau membantu orang asing yang ada dilingkungannya, lebih terbuka dan lebih berempati, sehingga hubungan interpersonal yang dibangun dapat berlangsung dengan baik dan memuaskan. Sedangkan masyarakat barat yang cenderung lebih tertutup, akan lebih sulit dalam menjalin hubungan interpersonal yang baik.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi hubungan interpersonal adalah tempat tinggal (House dan Wolf, 1978). Orang yang bertempat tinggal di daerah pedesaan atau kota kecil lebih mempunyai sifat menolong dan menerima orang lain dibandingkan dengan masyarakt kota.

Kualitas hubungan seseorang dengan lainnya dipengaruhi citra yang dimiliki orang tersebut. Jika citranya baik di mata orang lain maka hubungan interpersonalnya pasti baik, dan akan menentukan keberhasilan dalam bernegosiasi, berpromosi dan bertransaksi.

Karena itu citra juga merupakan aset yang sangat penting dalam berkomunikasi dengan orang lain. Citra adalah kesan kuat yang melekat pada banyak orang tentang seseorang, sekelompok orang atau tentang suatu institusi.

Orang yang ingin memiliki citra baik di dalam keluarganya atau di lingkungannya, maka ia harus bisa menunjukkan sebagai orang baik secara konsisten. Citra atau kesan terbangun melalui proses komunikasi interpersonal dimana orang banyak mempersepsi kepada kita atau sebaliknya.

Citra sangat dipersoalkan hanya pada seseorang yang secara sosial menonjol kedudukannnya. Meski demikian tidak semua perbuatan dipersepsi secara benar, karena persepsi dipengaruhi oleh banyak faktor.

Untuk lebih mendalam lagi, saya akan mencoba untuk mengetahui dimanakah posisi saya dalam membangun dan memelihara suatu hubungan dengan teman-teman saya. Sebagai pemberi ataukah penerima? Posisi saya dikatakan sebagai pemberi jika saya paling sering mengajukan pertanyaan kepada mereka, ”apa yang dapat saya perbuat untuk kalian?”. Sedangkan saya dapat dikatakan sebagai penerima jika saya paling sering mengajukan pertanyaan, “apa yang dapat kalian perbuat untuk saya?”.

Saya melakukan penelitian kecil terhadap teman-teman jurusan Ilmu Komunikasi. Saya berperan sebagai penerima selama seminggu dan berperan sebagai pemberi selama satu minggu pula. Secara kebetulan, kami memiliki tugas yang menumpuk dari para dosen.

Saat saya menjadi si penerima. Kami mengerjakan tugas Statistik Sosial. Saya selalu meminta jawaban dari tugas tersebut. Setiap saya meminta jawaban-jawaban dari mereka, saya merasa ekspresi mereka berbeda-beda. Ada yang bilang, “oh, ya udah copy aja”, “hah! Gua belum kelar! Liat yang lain aja dulu.” Saya meminta jawaban dari mereka hanya untuk mendapatkan keuntungan yang tidak perlu capek untuk berpikir. Jadi, kasarnya pengen yang instan, nyontek aja deh. Padahal, mereka membuat jawaban itu dengan penuh kerja keras.

Saat saya menjadi si pemberi. Beberapa teman saya meminta bantuan yang sebenarnya itu sangat merepotkan saya dan sebenarnya mereka dapat melakukannya itu sendiri. Dan itu tidak terjadi hanya sekali dua kali, tetapi orang yang sama selalu meminta bantuan pada saya. Ini tandanya dia ngelunjak. Sudah diberi hati, justru minta jantung. Memang sih, saya terlihat sebagai cewek yang baik hati dan murah tangan, namun saya tidak bisa menolong mereka setiap saat karena apa yang mereka minta itu sebenarnya bisa mereka lakukan sendiri. Hanya saja mereka malas dan ogah-ogahan.

Jika saya dijuluki penerima, berarti saya lebih banyak meminta sesuatu dari teman-teman saya dibandingkan memberi. Ini berarti saya memiliki sifat yang sangat “sentris pada aku” dalam menerapkan pendekatan hubungan. Hampir semua aspek, saya minta; bisa berupa gagasan, pendapat, bantuan kerja, bahkan sampai dalam bentuk barang atau uang dari orang lain. Kontak dan jaringan hubungan seperti itu cenderung hanya untuk keuntungan saya semata. Padahal itu sama saja saya telah menambah beban ke orang lain.

Sebaliknya jika saya pemberi, biasanya proaktif untuk menolong orang lain ketika teman-teman saya sedang menghadapi masalah. Tanpa diminta pun saya selalu siap membantu. Akan tetapi, apakah sifat seperti ini selalu baik? Saya harus berhati-hati, karena saya bisa disebut orang yang royal. Bahkan, saya bisa dijuluki altruistik yaitu berbuat melulu untuk kepentingan orang lain. Akibatnya, akan menciptakan kebergantungan orang lain pada saya. Bahkan kalau tak terkendali, saya merasa menjadi seorang hero. Ujung-ujungnya saya bisa bersifat angkuh. Jadi, sama buruknya dengan julukan penerima.

Sudah terbukti bahwa saya tidak bisa menjadi seorang pemberi. Mengapa? Karena itu sama saja menguntungkan mereka tanpa kerja keras. Mereka mendapatkan apa yang diminta secara cuma-cuma. Capek di saya, untung di dia. Saya lebih suka, ‘aku untung kaupun untung’. Jadi, saya tidak merasa dirugikan. Saya juga bukan tipe orang yang angkuh, segala hal bisa saya lakukan dan saya salurkan dalam bentuk bantuan terhadap orang lain. Lebih baik saya bisa melakukan sesuatu tetapi tidak dipublish ke khalayak. Justru akan merepotkan saya. Namun, hal itu juga jelek karena itu tidak membantu saya untuk maju. Kemampuan yang kita bisa tidak akan nampak dalam masyarakat. Oleh karena itu, ada kalanya kita harus menjadi seorang penerima dan ada kalanya kita harus menjadi pemberi. Kita harus pintar dalam menemptkan sesuatu hal dengan baik sesuai tempatnya.

Tujuan membangun hubungan antarsesama kolega kerja adalah terciptanya keharmonisan kerja. Basisnya adalah saling pengertian dan saling mengambil manfaat. Jika itu terwujud maka berarti dinamika kelompok tercapai. Bersama dalam suka dan duka; demikian yang bisa dianalogikan pada suatu keluarga harmonis. Di situ terjadi saling memberi dan menerima secara seimbang. Atau ada proses timbal balik secara alami. Apa yang menjadi ukurannya? Tidak mudah dihitung karena hampir semua aspek hubungan bersifat intangible atau hanya bisa dirasakan. Dalam prakteknya itu sangat bergantung pada bobot setiap aspek hubungan dan derajat kebutuhannya.

Jadi idealnya adalah ketika kita suatu waktu membutuhkan bantuan orang lain maka jangan lupa di kesempatan lain kita pun harus siap selalu membantu orang lain tersebut. Jika ini terjadi pada setiap anggota kelompok unit kerja maka cenderung setiap masalah yang ada bisa diatasi dengan lancar. Siapapun dia, akan sangat memungkinan menjadi katalis terciptanya suatu hubungan harmonis. Terjadilah apa yang disebut sebagai proses interdependensi yang tulus dan alami. Manfaat kerjasama timbal balik ini akan mampu meningkatkan kinerja individu, kelompok, dan kinerja perusahaan. Disinilah peran manajer menjadi sangat penting dalam membangun dan memelihara keharmonisan hubungan kerja sesama mitra.

Menurut Walster & Walster (1976), suatu hubungan interpersonal akan berlangsung lama apabila dalam interaksi antara kedua orang tersebut terjadi transaksi yang adil (equity). Dalam prinsip equity, keadilan akan terjadi apabila masing-masing pihak yang terlibat dalam interaksi sosial sama-sama member dan menerima dalam proporsi yang seimbang.

Prinsip hubungan antar pribadi equity dapat diformulasikan sebagai berikut:


Dimana:

I : Input (masukan), yaitu hal-hal yang diberikan oleh si a kepada si b dalam interaksi sosial *.

O : Output (keluaran), yaitu apa-apa yang diperoleh dari interaksi sosial *.

* : I dan O dapat berupa materi maupun non-materi.

Menurut Byrne, The attraction Paradigm (1973) terdapat beberapa kunci sukses dalam hubungan antar-pribadi adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan penampilan diri agar menarik.

Berbicara tentang kesamaan kita dengan orang lain. Adanya kesamaan (similarity) antara diri kita dengan orang lain akan membuat kita saling menyukai (liking). Membicarakan kesamaan kita dengan orang lain akan lebih nyambung obrolannya dan mereka pasti merasa enjoy berbicara dengan kita karena merasa sehati. Membicarakan kesukaan orang lain. Orang akan senang dengan kita jika kita berbicara tentang hal-hal yang disukai mereka. Dengan begitu, mereka merasa dihargai dan dihormati oleh kita. Membuat orang merasa penting. Mengingat nama orang. Mengingat nama seseorang berarti mengingat seluruh diri orang tersebut sekaligus wujud perhatian kepadanya. Kita tidak boleh merasa rendah diri. Perasaan rendah diri akan menyebabkan kekakuan dalam pergaulan. Orang yang rendah diri biasanya terlalu memperhatikan kegagalan hidup dan kurang memperhatikan kisah suksesnya. Berpenampilan bersih dan rapi. Umumnya orang akan menyukai kebersihan dan kerapian. Biasanya, dilihat dari fisiknya. Menggunakan komunikasi verbal dan non-verbal yang menyenangkan. Dalam interaksi sosial dengan orang lain sering kali komunikasi verbal dan non-verbal yang dilakukan menyebabkan orang menjadi tidak menyukai kita. Makanya, kita dianjurkan untuk menggunakan bahasa yang sudah familiar di kalangan agar lebih nyambung dalam berbicara. Menyiapkan mental untuk menerima kritik. Jika kita mudah tersinggung dan cepat putus asa maka akan sulit bagi kita untuk berhasil dalam pekerjaan. Gunakanlah kritikan itu sebagai evaluasi kita untuk menjadi yang lebih baik dari sebelumnya.

2. Persepsi terhadap orang lain

Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi, mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Ini merupakan cara kita mengubah energi-energi fisik lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna. Persepsi merupakan hasil pemaknaan terhadap pesan. Cara-cara seseorang mempersepsi objek-objek sosial dan kejadian-kejadian bergantung pada unsur sosio-budaya dimana dia tumbuh sejak kecil/balita, yang meliputi: sistem-sistem keperayaan (beliefs), nilai (value), sikap (attitude); pandangan dunia (world view); dan organisasi sosial (social organization). Proses pembentukan persepsi terhadap orang lain dapat di deskripsikan sebagai berikut:


Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya persepsi, antara lain:

1. Hal-hal di dalam diri sendiri

Sifat kepribadian, orang cenderung berasumsi bahwa orang lain akan berperilaku sama dengan dirinya. Pengalaman masa lalu, orang cenderung memindahkan pengalaman masa lalu ke dalam situasi baru yang dihadapinya. Keadaan emosi sementara, keadaan emosi seseorang pada saat pertama kali berjumpa akan mempengaruhi kesan terhadapa dirinya. Peran yang dipegang, jabatan atau fungsi yang kita pegang sering kali mempengaruhi cara kita melihat orang lain.

2. Hal-hal pada diri orang lain

Ciri fisik, beberapa penelitian bahwa orang yang rupanya baik akan dinilai memiliki kesan yang berbeda (lebih menarik) dibandingkan dengan orang yang rupanya jelek. Jenis kelamin, ada semacam stereotip bahwa wanita bersifat emosional, kurang rasional, kurang mandiri, mudah menangis, dan teliti dalam bekerja. Sedangkan pria lebih mandiri, tidak mudah menangis, dan lebih rasional. Asal suku, kesan yang kurang positif tentang orang dari suku tertentu akan menyebabkan kita kurang antusias membuat hubungan dengan orang dari suku tersebut. Usia, orang yang sudah tua dianggap lebih matang kepribadiannya dari pada orang yang masih muda.

3. Situasi saat hubungan interpersonal dilakukan

Dilihat dari konteks fisik, seperti ruang, meja kerja, penerangan, dan sebaigainya. Dilihat dari konteks sosial, seperti status sosial ekonomi, jabatan, prestise, dan sebagainya. Konteks-konteks ini sangat berpengaruh pada hubungan interpersonal antar-pribadi. Misalkan, saya mengajak rekan saya untuk mendiskusikan suatu proyek yang akan dibuat pada sebuah restoran. Hal ini akan menimbulkan persepsi dari rekan saya bahwa saya orangnya menyenangkan karena membicarakan tugas kantor di restoran, bisa sekalian makan dan mengobrol bersama. Situasi seperti ini menimbulkan keakraban yang lebih dalam satu sama lain sehingga hubungan kami menjadi lebih dekat dibandingkan dengan sebelumnya.

Komunikasi transaksional adalah salah satu teknik komunikasi yang dapat menunjang hubungan interpersonal yang baik dalam rangka mengatasi kekurangharmonisan hubungan interpersonal dengan orang lain karena kekurangmampuan kita berkomunikasi secara verbal. Dalam hal ini lebih dikenal dengan istilah, “I’m ok, you’re ok!”.

Konflik adalah salah satu bentuk ketidakserasian yang disebabkan oleh tidak sejalannya pikiran antara kedua belah pihak yang terlibat dalam hubungan interpersonal. Terdapat strategi untuk penyelesaian konflik, antara lain:

1. Win-Lose Strategy

Masing-masing pihak ingin mengalahkan pihak yang lain dengan mengambil tindakan yang menguntungkan dirinya dan merugikan pihak lain. Penyelesaian dengan pendekatan ini tidak akan menumbuhkan perdamaian, karena pihak yang lain merasa dirugikan dan akan menaruh kebencian.

2. Lose-Lose Strategy

Penyelesaian dengan cara ini didasari oleh perasaan untuk melampiaskan kemarahan dengan melakukan tindakan yang merugikan kedua belah pihak. Dalam penyelesaian konflik seperti ini kedua belah pihak menjadi orang yang kalah.

3. Win-Win Strategy

Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik berusaha menciptakan suasana yang memberikan kesan bahwa tidak ada pihak yang kalah dengan berusaha menyelamatkan muka pihak lain (face saving strategy).

Gaya

Perilaku Karakteristik

Pembenaran Pemakaian

Penghindaran

Non Konfrontasi – mengabaikan atau melewatkan masalah.

Menyangkal masalah.

Perbedaan terlalu kecil atau terlalu besar untuk dipecahkan. Upaya pemecahan dapat merusak hubungan atau menimbulkan masalah yang besar.

Penyesuaian

Perilaku non asertif dan menyenangkan.

Koperatif bahkan dengan mengorbankan tujuan pribadi.

Tidak sepadan menanggung resiko kerusakan dalam hubungan atau ketidakharmonisan umum.

Menang/kalah

Konfrontasi, agresif, dan asertif.

Harus menang dengan jalan apapun.

Yang terkuat yang menang.

Harus membuktikan superioritas yang paling etis atau benar secara profesional.

Kompromi

Penting semua pihak mencapai tujuan dasar dan mempertahankan hubungan yang baik.

Agresif dan koperatif.

Tidak ada satu orang atau satu gagasan yang sempurna. Ada lebih dari satu cara yang baik untuk mengerjakan sesuatu. Kita harus memberi untuk menerima.

Pemecahan masalah

Kebutuhan kedua pihak adalah sah dan penting. Respek yang tinggi kepada dukungan timbal balik. Asertif dan koperatif.

Bila pihak-pihak mau secara terbuka membicarakan masalah, pemecahan yang menghasilkan keuntungan bersama dapat ditemukan tanpa setiap orang membuat konsesi yang besar.

Untuk membuat orang lain mengerti dengan apa yang telah kita berikan pada mereka itu tidak mudah. Seringkali kali saya melakukan pendekatan kepada orang yang baru saja dikenal. Saya mencoba untuk memperkenalkan diri pada mereka dan mencoba untuk menjalin pembicaraan yang akrab. Namun, hal itu tidak mudah. Saya sudah mencoba untuk enjoy berbicara dengan mereka, membicarakan mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan mereka seperti apa yang mereka suka, kegiatan yang mereka ikuti, dan sebagainya tetapi mereka belum mendapatkan feel yang saya harapkan. Ternyata apa yang saya lakukan itu belum cukup untuk membuat mereka mengenal lebih dalam pada saya. Saya sudah berusaha untuk terus menanamkan identitas saya ke dalam lubuk hati mereka dengan cara selalu memulai memahami, memaafkan, menyapa mereka. Syukur-syukur mereka mendapatkan atau memberi hubungan timbal balik pada saya. Jika tidak, maka saya dikatakan belum berhasil menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain secara tepat dan baik.

Memasuki era globalisasi, persaingan dalam dunia kerja menjadi semakin kompetitif. Agar Indonesia dapat bersaing dengan negara lainnya, maka diperlukan tenaga kerja yang mampu bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan kata lain, dibutuhkan tenaga kerja dengan performansi kerja yang baik.

Demi tercapainya visi dan misi dari perusahaan, suatu perusahaan harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk perencanaan dan pengembangan SDM. Salah satunya adalah untuk proses seleksi karyawannya. Hal ini menyebabkan adanya suatu ekspektansi dari pihak pengelola terhadap kinerja karyawannya. Sehubungan dengan hal tersebut, kiranya dibutuhkan suatu usaha untuk mengidentifikasi factor-faktor apa yang menentukan performansi kerja individu, dan bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap performansi kerja. Hasil identifikasi tersebut akan sangat bermanfaat bagi perusahaan, sebagai masukan untuk proses seleksi karyawan.

Dalam melakukan pekerjaannya, banyak faktor yang dapat mempengaruhi performansi kerja individu, antara lain hubungan interpersonal. Kesuksesan karir dan tercapainya tujuan organisasi, ternyata sangat tergantung pada hubungan interpersonal yang efektif. Sehubungan dengan hal ini, pekerjaan dalam bidang penjualan yaitu salesperson, pantas mendapatkan perhatian lebih karena pekerjaan tersebut memegang peranan penting dalam menunjang perekonomian perusahaan (Vinchur, Schipmann, dkk, 1998; Smee, 1990). Individu yang bekerja dalam bidang ini harus selalu siap menerima penolakan dari pelanggan, mencoba mencari pelanggan baru, dan mempertahankan pelanggan yang lama (Vinchur, Schipmann, dkk, 1998). Chan (2003) menyatakan bahwa saat ini konsumen butuh dikenali, diberi reward dan pelayanan yang baik. Oleh karena itu hubungan interpersonal yang baik, memegang peranan penting dalam kesuksesan individu yang bekerja dalam bidang penjualan. Ries & Ries (2002) menyatakan bahwa saat ini era dominasi periklanan sudah mulai berakhir, dan muncul era baru dalam menjual yaitu dengan public relations.

Selain dapat memfasilitasi pekerjaan kita, kehadiran individu lain membuat apa yang kita kerjakan menjadi lebih berarti dan dapat mengurangi stres kerja. Hubungan interpersonal yang baik sangat berguna untuk mengembangkan kemampuan sosial dan kognitif, mengembangkan konsep diri yang baik, membantu individu dalam proses aktualisasi diri dan dalam membangun mental yang sehat. Di lain pihak, hubungan interpersonal yang buruk dapat menyebabkan individu terisolasi diri dari dunia luar, menjadi kurang pengetahuan, dipecat dari pekerjaan, menurun produktivitasnya, bahkan dapat menyebabkan gangguan psikologis dan gangguan kesehatan (Johnson, 1986; Cohen & Wiliamson, 1991).

Salah satu faktor yang berperan dalam membangun hubungan interpersonal yang baik adalah bagaimana individu mampu menampilkan kesan yang tepat pada situasi atau individu yang berbeda. Hal ini disebut sebagai self monitoring (Baron & Byrne, 1994).

Konsep self monitoring dikemukakan oleh Snyder (1974) sebagai kemampuan individu untuk mengatur perilakunya berdasarkan situasi lingkungan dan reakdi orang lain atau berdasarkan factor internal seperti kepercayaan, sikap, dan kepentingan dari individu yang bersangkutan. Self monitoring pada individu berperan dalam menentukan kesan apa yang ingin ditampilkan individu terhadap individu lain, sehingga dapat terjalin suatu hubungan yang baik.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi hubungan interpersonal dan performansi kerja adalah minat. Anastasi (1997) menyatakan bahwa minat seseorang merupakan aspek penting kepribadian dan dapat mempengaruhi hubungan antarpersonal.

Noah (2001) menyatakan bahwa minat seseorang terhadap pekerjaan tertentu dapat menjadi dasar prediksi bagi kesuksesan pekerjaannya di kemudian hari.

Minat dapat didefinisikan sebagai kecenderungan yang menetap dalam individu untuk merasa tertarik pada bidang atau hal tertentu, dan merasa senang berkecimpung dalam bidang itu (Winkel, 1984).

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa hubungan interpersonal yang dipengaruhi self monitoring, serta minat terhadap suatu pekerjaan memegang peranan penting dalam menentukan performansi kerja individu. Namun pada kenyataannya, tidak semua orang mampu menciptakan hubungan interpersonal yang baik.

Pada tahun 1982, Center Skills in the U.S Workforce, dan berdasarkan survey nasional yang dilakukan oleh serikat pekerja dan institusi pendidikan di Amerika Serikat, diketahui bahwa 90% pemutusan hubungan kerja didasarkan karena pekerja tidak mempunyai keterampilan interpersonal yang memadai (Johnson, 1986).

Tidak hanya di Amerika, tetapi di Indonesia pun banyak pekerja kita yaitu para salesperson yang tidak mencapai target penjualan. Kebanyakan dari kita cenderung menghindari sales dan menganggap pelayanan mereka kurang memuaskan. Tampaknya, dimanapun kita berada, hubungan interpersonal dapat menyebabkan kita diberhentikan atau tidak disukai, dilain pihak juga membuat kita dapat bertahan dalam suatu perusahaan atau organisasi.

Disini kita akan mengenal lebih jauh bagaimana pengaruh hubungan interpersonal, self monitoring, dan minat terhadap performansi kerja khususnya pada karyawan bagian penjualan.

Kebanyakan dari kita mendefinisikan salespersonal (Tenaga penjual) sebagai individu yang bekerja menawarkan dan menjual barang. Padahal, sales mempunyai peran yang besar dalam menunjang perekonomian perusahaan. Beberapa ahli seperti Russel (1974), Kotler (2000), dan Talet (2003) mendefinisikan salesperson dalam kerangka yang lebih moderen. Seorang tenaga penjual tidak hanya sekedar menjual namun merupakan pekerjaan yang sangat penting karena berhubungan dengan konsumen dan interaksinya dapat mempengaruhi kepuasan dan kesetiaan konsumen.

Albaun, dkk (1994) mengelompokkan tugas-tugas seorang tenaga penjual ke dalam tiga aktivitas yaitu aktivitas menjaul secara aktual (Actual Selling Activity), relasi dengan pelanggan (Customer Relation), mengumpulkan informasi dan berkomunikasi (Information Gathering and Communicating).

Performansi kerja adalah apa yang ditunjukkan oleh tenaga kerja selama ia bekerja, seperti produktivitas, kualitas barang atau jasa yang dihasilkan, tingkat absensi, dan hal-hal lain yang diterapkan oleh organisasi atau perusahaan (Schultz, 1994; Dessler, 2000).

Untuk mengetahui apakah pekerja atau karyawan bekerja sesuai dengan harapan perusahaan, maka perlu dilakukan evaluasi. Evaluasi terhadap performansi individu sering disebut dengan performance appraisal, penimbangan karya, performance review, dan lain sebagainya (Munandar, 2001; Asnawi, 1999; Miner, 1992; Carrel, dkk, 1992).

Terdapat beberapa faktor, baik faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang dapat mempengaruhi performansi kerja individu. Faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi performansi kerja individu antara lain adalah motivasi intrinsik (Dubrin, 1992; Schultz, 1994; Robbins, 2001). Salah satu faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi performansi kerja individu adalah minat. Minat seseorang merupakan aspek penting kepribadian dan dapat mempengaruhi berbagai segi kehidupannya. (Anastasi, 1997).

Selain minat dan motivasi, beberapa ahli seperti Jawahar (2001), Miller dan Cardy (2000), juga mengemukakan bahwa self monitoring dapat mempengaruhi performansi kerja individu. Individu dengan self monitoring yang baik (High self monitoring) akan lebih mudah beradaptasi sehingga dapat mempengaruhi performansi mereka.

Selain faktor intrinsik, terdapat beberapa faktor ekstrinsik yang dapat mempengaruhi performansi kerja individu, seperti karakteristik dari organisasi atau perusahaan. Hal tersebut berkaitan pula dengan motivasi ekstrinsik. (Dubrin, 1992; Schultz, 1994; Robbins, 2001; Cascio, 2001).

Anastasia (1997) mengemukakan bahwa minat seseorang merupakan aspek penting kepribadian. Karakteristik ini secara nyata, dapat mempengaruhi prestasi pendidikan dan pekerjaan, kesenangan, serta hubungan interpersonal seseorang.

Untuk menjalin hubungan yang baik dengan individu lain, individu harus menampilkan kesan yang sesuai dengan tuntutan lingkungannya tersebut. Hal tersebut perlu didukung oleh adanya kemampuan individu dalam memonitor dirinya.

Hal utama yang diinginkan suatu perusahaan atau organisasi adalah tercapainya tujuan organisasi, salah satunya adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk mecapai tujuan tersebut, suatu perusahaan harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk perencanaan dan pengembangan sumber daya manusia. Untuk mengetahui apakah pekerja atau karyawan bekerja sesuai dengan harapan perusahaan, maka perusahaan perlu melakukan penilaian terhadap pekerjanya. Penilaian tersebut dapat dilakukan dengan melihat performansi kerja individu. Kriteria yang digunakan untuk mengukur performansi kerja individu biasanya ditetapkan perusahaan atau organisasi yang bersangkutan.

Banyak faktor yang mempengaruhi performansi kerja seseorang, antara lain uang yang dihasilkan, tantangan pekerjaan, kemauan individu untuk berkembang, dan bagaimana hubungan individu dengan lingkungan kerjanya.

Manusia selalu memerlukan dan berjumpa dengan orang lain dalam kehidupannya. Agar bisa diterima dan beradaptasi dengan baik, individu harus berusaha menjalin hubungan dengan individu lain. Dalam situasi apapun termasuk dalam lingkungan kerja, hubungan interpersonal memegang peranan penting. Bagi individu, hubungan interpersonal yang baik dapat menjadi faktor yang menentukan kesuksesan karir dan memfasilitasi pekerjaan. Individu juga mendapatkan dukungan social dari rekan sekerjanya, sehingga dapat mengurangi stres akibat tekanan pekerjaan. Hal tersebut dapat berdampak bagi produktivitas individu.

Dalam tim kerja hubungan interpersonal yang baik antara anggota tim, membuat tim kerja menjadi kohesif dan dapat bekerja secara optimal (Jehn & Shah, 1997). Pada individu yang bergerak pada bagian penjualan, hubungan interpersonal yang baik dengan konsumen sangat mempengaruhi performansi kerja individu. Jadi, bagi organisasi, hubungan interpersonal yang baik antara atasan dengan bawahan, antar rekan kerja, klien atau konsumen, dan pihak lain yang terkait merupakan salah satu langkah penting untuk mencapai tujuan organisasi.

Jadi, dalam hidup bermasyarakat, manusia saling membutuhkan satu dengan lainnya, secara individu maupun kelompok. Tak bisa dihindari diantara mereka terjadi hubungan transaksional. Hubungan interpersonal yang baik sangat dibutuhkan bagi setiap individu agar terjalin jejaring yang bagus pula.

Self monitoring dan minat terhadap pekerjaan sebagai salesperson memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap performansi kerja.

Berikut tips-tips yang saya buat berdasarkan uraian diatas agar terciptanya hubungan interpersonal yang baik, yaitu:

Cara berkawan dan mempengaruhi orang, yaitu:

1. Remember the name, ingatlah bahwa nama seseorang adalah yang terpenting dalam segala bahasa dan bentuk penghargaan apapun. Bagi dirinya adalah suara yang terindah dari suara yang ada.

2. Appreciation, manusia sangat menghargai bila diberikan penghargaan secara tulus dan jujur.

3. Attention, berilah perhatian yang sungguh-sungguh kepada orang lain.

4. Proud, membicarakan diri sendiri tentang keberhasilan-keberhasilannya merupakan kesenangan tersendiri. Berbicaralah mengenai kesenangan orang lain.

5. Important, berbuatlah agar orang lain merasa bahwa dirinya penting dan lakukan hal ini dengan tulus dan jujur.

6. Good Listener, jadilah pendengar yang baik dan berilah dorongan agar orang lain berbicara mengenai dirinya.

7. Good Friend, buatlah kehadiran kita diperlukan oleh rekan-rekan kita.

8. Don’t Coca-Cola-Cup, jangan selalu mengkritik, mengutuk, maupun mengeluh.

9. Smile, berilah sesuatu yang sangat murah kepada teman (bagi kita – pemberi) akan tetapi sangat berarti (bagi yang menerima).

Cara untuk bekerja sama, yaitu:

1. Cara terbaik dalam perdebatan adalah menghindarinya.

2. Hargailah pendapat orang lain dan jangan mengatakan bahwa pendapatnya adalah: salah.

3. Akui kesalahan, bila kita bersalah akuilah secepatnya dan jelaskan kesalahan kita.

4. Berfikir positif, awali pembicaraan dengan cara yang bersahabat.

5. Usahakan agar orang lain berkata: ya-ya-ya.

6. Jangan memonopoli pembicaraan, usahakan agar lawan bicara kita mengambil bagian yang lebih banyak dalam pembicaraan yang bersemangat.

7. Apalah artinya nama, biarkan orang lain merasa bahwa ide-ide datang dari padanya.

8. Objektif, berusahalah untuk melihat dari sudut pandang orang lain dengan sejujur-jujurnya.

9. Rasional, bersikaplah simpatik terhadap keinginan serta ide-ide orang lain.

10. Motivasi, hadapi orang lain dengan motivasi yang tinggi.

Cara untuk memotivasi orang, adalah:

1. Pujian, awalilah dengan pujian dan ucapan terima kasih dengan tulus.

2. Jangan menuduh, bila orang lain dinilai bersalah, janganlah dituduh secara langsung.

3. Introspeksi, berbicaralah tentang kesalahan diri kita sendiri sebelum mempersalahkan orang lain.

4. Pertanyaan positif, bentuklah perintah-perintah kita dalam bentuk pertanyaan. Misalkan, “Bayarin dong!” bisa diubah dengan “Bisa minta tolong dibayarin terlebih dahulu tidak? Nanti sampai kantor, saya ganti. Maaf merepotkan.”

5. Harga diri, harus diusahakan agar orang lain tidak kehilangan muka.

6. Pujian (Praise), berikanlah pujian dalam prestasi sekecil apapun dan dukunglah atas usahanya.

7. Contoh yang baik (Good Examples), berikan gambaran reputasi yang baik tentang orang lain untuk dapat mendorong menjadi lebih baik.

8. Berpikir positif, gunakan dorongan semangat dan usahakan agar tiap kesalahan menjadi mudah untuk diperbaiki.

9. Happy, Buatlah orang lain merasa bahagia untuk melakukan hal-hal yang kita usulkan.

DAFTAR PUSTAKA

Baron, R.A., & Byrne, D. (1994). Sosian Psychology: Understanding human interaction (7th Edition). New York: Allyn & Bacon.

Chan, S. 2003. Relationship marketing: Inovasi pemasaran yang membuat pelanggan bertekuk lutut. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Munandar, A.S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Singgih, Yulia D. G. 2008. Asas-asas Psikologi: Keluarga Idaman. BPK Gunung Mulia.

Clara. 2003. Hubungan antara pemonitoran diri (self monitoring) dengan hubungan interpersonal. Jurnal Psikologi Universitas Gunadarma. 1 (8), 11-24.

Jawahar, I.M. 2001. Attitudes, Self monitoring, and Appraisal behaviors. Journal of applied psychology. 86 (5), pp. 875-883.

Toha, Muharto & Hutrindo Erick. Diklat Teknis Komunikasi dan Presentasi Efektif – Hubungan Antar-Pribadi. Hotel Bukit Indah Ciloto, 17-22 Juli 2006

Mangkuprawira, Sjafri, “Hubungan Kerja: Pemberi atau Penerima” Style Sheet http://ronawajah.wordpress.com/2008/11/01/hubungan-kerja-pemberi-atau-penerima/, diakses pada 9 Desember, pukul 19.32 WIB.

“Tips Komunikasi Interpersonal” Style Sheet http://c3i.sabda.org/, diakses pada 9 Desember 2009, pukul 09.32 WIB.