Following Me are:

Jumat, Oktober 29, 2010

Sejauh Apakah Peran Pemerintah Turun Tangan Dalam Mengatasi Polusi Udara

Pada tahun 2006, warga Jakarta dapat sedikit bergembira karena salah satu haknya sebagai warga kota untuk menikmati udara bersih mulai diperhatikan oleh Pemerintah Provinsi DKI melalui pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara. Berbagai penelitian telah menempatkan ibu kota kita ini dalam jajaran kota terpolusi di dunia. Meskipun tanpa penelitian ilmiah, sebenarnya sudah bisa kita ketahui bersama betapa kotornya udara di Kota Jakarta ini.

Perda pencemaran udara ini, jika dilaksanakan secara konsisten, dipastikan dapat mengurangi pencemaran udara di Jakarta. Hampir sudah menjadi kelaziman di negeri ini bahwa peraturan mudah sekali dibuat tapi sangat sulit dilaksanakan secara konsisten, terlebih jika peraturan tersebut terkait dengan lingkungan hidup. Sebagai contoh, peraturan tentang kewajiban membuat analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sebelum melakukan pembangunan yang dinilai dapat berdampak pada lingkungan sudah menjadi rahasia umum saat ini hanya terkesan formalitas belaka. Tentu kita tidak ingin perda pencemaran udara ini bernasib sama seperti peraturan mengenai amdal tersebut.

Indikasi ketidakseriusan pemerintah DKI dalam melaksanakan perda tersebut kian tampak setelah muncul kebijakan penundaan pemberlakuan uji emisi bagi kendaraan pribadi. Untuk itulah sebagai warga kota kita perlu senantiasa mengawal agar pemerintah DKI tidak menjadikan perda tersebut sebatas formalitas belaka atau sekadar pelipur lara bagi warga kota yang haknya atas lingkungan hidup, terutama udara bersih, senantiasa terabaikan selama ini. Terkait dengan hal itu, tentu saja diperlukan ukuran yang jelas untuk mengetahui sejauh mana konsistensi pemerintah DKI dalam melaksanakan perda ini.

Ada beberapa ukuran yang dapat dijadikan parameter dalam mengukur konsistensi dari pelaksanaan perda ini oleh pemerintah DKI. Pertama, perda ini masih memerlukan seperangkat peraturan gubernur (pergub) untuk menunjang pelaksanaannya. Parameter yang dapat digunakan untuk mengukur konsistensi pemerintah DKI dalam melaksanakan perda ini tentu saja adalah seberapa lama waktu yang dibutuhkan pemerintah DKI (dan jajarannya) dalam menyusun pergub? Semakin lama waktu yang dibutuhkan tentu saja menjadi indikasi ketidakseriusan pemerintah DKI dalam melaksanakan perda ini.

Kedua, seberapa besar pengaruh pelaksanaan perda ini dalam upaya meningkatkan kualitas udara. Parameter dari hal ini tentu saja perbandingan data kualitas udara di Jakarta sebelum dan setelah pelaksanaan perda. Idealnya, tentu saja jika perda ini dilaksanakan secara konsisten, akan berdampak pada peningkatan kualitas udara. Jika yang terjadi sebaliknya, tentu ada yang salah dalam pelaksanaan perda ini. Dengan data tersebut, selain masyarakat dapat melihat keberhasilan atau kegagalan pemerintah DKI dalam melaksanakan perda tersebut, juga dapat bersama-sama mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kegagalan atau keberhasilan pelaksanaan perda. Selanjutnya, dari situ dapat dilakukan perbaikan secara terus-menerus terhadap pelaksanaannya.

Ketiga, hal yang perlu mendapat perhatian dari masyarakat adalah sejauh mana kebijakan yang “direproduksi” oleh pemerintah DKI lainnya sejalan dengan semangat yang terkandung dalam perda. Semangat dari Perda Nomor 2 Tahun 2005 adalah mengupayakan terciptanya udara bersih di Kota Jakarta.

Kebijakan mengenai busway, misalnya, dapat dikatakan sejalan dengan semangat yang terkandung dalam perda. Dengan adanya busway diharapkan warga Kota Jakarta akan lebih memilih menggunakan angkutan umum daripada kendaraan pribadi. Kebijakan transportasi yang berpihak terhadap angkutan umum dipastikan dapat mengurangi kemacetan dalam kota sebagai salah satu penyebab makin parahnya pencemaran udara di Kota Jakarta.

Namun sebaliknya, rencana pembangunan ruas jalan tol dalam kota oleh pemerintah DKI beberapa waktu yang lalu dipastikan justru akan memicu pertumbuhan kendaraan bermotor pribadi yang pada akhirnya akan memicu pula timbulnya kemacetan dan polusi udara. Pembangunan ruas jalan baru, termasuk jalan tol, yang pada mulanya dimaksudkan untuk mengurai kemacetan dalam kota dipastikan gagal menyelesaikan masalah tersebut.

Data Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyebutkan bahwa pertumbuhan panjang ruas jalan baru hanya berkisar 1 persen, sedangkan pertumbuhan kendaraan bermotor 15,9 persen. Dari banyaknya populasi kendaraan bermotor di Jakarta tersebut, menurut hasil penelitian JICA pada 1996, kendaraan pribadi merupakan penyumbang terbesar komponen pencemar CO (karbon monoksida) 58 persen, HC (hidrokarbon) 43 persen, dan NO (nitrogen oksida) 54 persen.

Setidaknya dari ketiga parameter di atas diharapkan warga kota dapat melakukan proses pengawalan terhadap pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2005 oleh pemerintah DKI secara lebih terukur. Hal itu penting agar peraturan tersebut dapat benar-benar menjadi salah satu kekuatan dan pijakan bagi pemerintah DKI untuk mulai memperhatikan dan melindungi hak warganya atas lingkungan hidup yang selama ini sering kali terabaikan oleh desakan kepentingan ekonomi jangka pendek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar