ARGUMENTASI, DESKRIPSI, NARASI, DAN EKSPOSISI
I. Argumentasi
Menurut Buku ‘Argumentasi dan Narasi’ karya Gorys Keraf, Argumentasi adalah suatu bentuk retorika yang berusaha untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain, agar mereka itu percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis atau pembicara. Melalui argumentasi penulis berusaha merangkaikan fakta-fakta sedemikian rupa, sehingga ia mampu menunjukkan apakah suatu pendapat atau suatu hal tertentu itu benar atau tidak.
Sebuah topik tertentu dapat disoroti dengan mempergunakan argumentasi, misalnya topik ‘perguruan tinggi’. Melalui argumentasi, penulis menyatakan pendiriannya agar diadakan perubahan dan perbaikan, atau bagaimana seharusnya kebijaksanaanpendidikan di perguruan tinggi. Agar para pembaca dapat diyakinkan mengenai maksudnya itu, penulis harus mengemukakan pula bukti-bukti untuk memperkuat pendirian atau pendapatnya itu.
Dasar sebuah tulisan yang bersifat argumentatif adalah berpikir kritis dan logis. Untuk itu, penulis harus bertolak dari fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang ada. Disamping memerlukan penjelasan, argumentasi memerlukan juga keyakinan dengan perantaraan fakta-fakta itu. Oleh sebab itu, penulis harus meneliti apakah semua fakta yang akan dipergunakan itu benar, dan harus meneliti pula bagaimana relevansi kualitasnya dengan maksudnya.
Pada hakikatnya, evidensi adalah semua fakta yang ada, semua kesaksian, semua informasi, atau autoritas, dan sebagainya yang dihubung-hubungkan untuk membuktikan suatu kebenaran. Dalam argumentasi, seorang penulis boleh mengandalkan argumentasinya pada pernyataan saja, bila ia menganggap pembaca sudah mengetahui fakta-faktanya, serta memahami sepenuhnya kesimpulan-kesimpulan yang diturunkan daripadanya. Evidensi itu berbentuk data atau informasi, yaitu bahan keterangan yang diperoleh dari suatu sumber tertentu, biasanya berupa statistik, dan keterangan-keterangan yang dikumpulkan atau diberikan oleh orang-orang kepada seseorang, semuanya dimasukkan dalam pengertian data (apa yang diberikan) dan informasi (bahan keterangan).
Penalaran merupakan sebuah proses berpikir untuk mencapai suatu kesimpulan yang logis. Penalaran bukan saja dapat dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang masih berbentuk polos, tetapi dapat juga dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang telah dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang berbentuk pendapat atau kesimpulan. Kalimat-kalimat semacam ini, dalam hubungan dengan proses berpikir disebut proposisi. Proposisi dapat dibatasi sebagai pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau dapat ditolak karena kesalahannya yang terkandung didalamnya. Sebagai contoh:
Semua manusia akan mati pada suatu waktu.
Beberapa orang Indonesia memiliki kekayaan yang berlimpah-limpah.
Kota Bandung hancur dalam Perang Dunia Kedua karena bom atom.
Semua gajah telah punah tahun 1980.
Keempat kalimata tersebut merupakan proposisi; kedua kalimat yang pertama dapat dibuktikan kebenarannya, dan kedua kalimat terakhir ditolak karena fakta-fakta yang ada menentang kebenarannya. Namun, keempat kalimat tersebut tetap merupakan proposisi.
Proposisi selalu berbentuk kalimat, tetapi tidak semua kalimat adalah proposisi. Hanya kalimat deklaratif yang dapat mengandung proposisi, karena hanya kalimat semacam itulah yang dapat dibuktikan atau disangkal kebenarannya. Kalimat-kalimat tanya, perintah, harapan, dan keinginan (desideratif) tidak pernah mengandung proposisi.
Inferensi berasal dari kata Latin inferre yang berarti menarik kesimpulan. Implikasi juga berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata implicare yang berarti melibat atau merangkum. Dalam logika, juga dalam bidang ilmiah lainnya, inferensi adalah kesimpulan yang diturunkan dari apa yang ada atau dari fakta-fakta yang ada. Sedangkan implikasi adalah rangkuman, yaitu sesuatu dianggap ada karena sudah dirangkum dalam fakta atau evidensi itu sendiri.
Untuk membuktikan suatu kebenaran, argumentasi mempergunakan prinsip-prinsip logika sebagai telah dikemukakan diatas. Logika merupakan suatu cabang ilmu yang berusaha menurunkan kesimpulan-kesimpulan melalui kaidah-kaidah formal yang absah (valid).
Istilah benar dan salah pertama-tama dipergunakan dalam argumentasi. Sebaliknya, untuk logika dipergunakan istilah absah (valid) dan tak absah (invalid). Bila semua bentuk formal yang diperlukan untuk menurunkan suatu kesimpulan dipenuhi, maka silogisme dinyatakan absah. Bila silogisme itu absah, maka dengan sendirinya kesimpulan yang diperoleh juga bersifat absah. Dalam argumentasi, yang dijadikan persoalan adalah apakah semua proposisi bersama konklusinya itu benar atau tidak. Sebagai contoh:
Premis Mayor : Semua mahasiswa adalah pejuang.
Premis Minor : Ali adalah seorang mahasiswa.
Konklusi : Sebab itu, Ali adalah seorang pejuang.
Dari segi formal, silogisme diatas bersifat absah. Namun sebagai argumen, silogisme itu tidak meyakinkan, karena proposi mayornya salah atau diragukan kebenarannya. Akan tetapi, jika kita menerima proposisi mayornya, maka kesimpulannya bersifat absah. Oleh sebab itu, penulis harus yakin bahwa semua premis mengandung kebenaran, sehingga ia dapat mempengaruhi sikap pembaca. Untuk membuktikan sesuatu, silogisme bukan saja harus mengandung sebuah struktur yang absah tetapi proposisinya juga harus mengandung pernyataan-pernyataan yang benar mengenai dunia kita ini. Logika memusatkan perhatiannya pada proses berpikir, sedangkan retorika memusatkan perhatiannya pada isi, pada kebenaran yang nyata yang ada di alam.
Dasar yang harus diperhatikan sebagai titik tolak argumentasi adalah:
1. Penulis harus mengetahui serba sedikit tentang subyek yang akan dikemukakannya, sekurang-kurangnya mengenai prinsip-prinsip ilmiahnya. Dengan demikian, penulis dapat memperdalam masalah dengan penelitian, observasi, dan autoritas untuk memperkuat data dan informasi yang telah diperolehnya.
2. Penulis harus bersedia mempertimbangkan pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pendapatnya sendiri. Dengan tujuan untuk mengetahui apakah diantara fakta-fakta yang diajukan lawan ada yang dapat dipergunakannya, sehingga justru akan memperlemah pendapat lawan.
3. Penulis harus berusaha untuk mengemukakan pokok persoalannya dengan jelas, harus menjelaskan mengapa ia harus memilih topik tersebut. Sementara itu pula, ia harus mengemukakan konsep-konsep dan istilah-istilah yang tepat.
4. Penulis harus menyelidiki persyaratan mana yang masih diperlukan bagi tujuan-tujuan lain yang tercakup dalam persoalan yang dibahas, dan sampai dimana kebenaran dari pernyataan yang telah dirumuskannya itu.
5. Dari semua maksud dan tujuan yang terkandung dalam persoalan itu, maksud mana yang lebih memuaskan penulis untuk menyampaikan masalahnya.
Untuk membatasi persoalan dan menetapkan titik ketidaksesuaian, maka sasaran yang harus ditetapkan untuk diamankan oleh setiap penulis argumentasi adalah:
1. Argumentasi harus mengandung kebenaran untuk mengubah sikap dan keyakinan orang mengenai topik yang akan diargumentasikan
2. Penulis harus berusaha untuk menghindari setiap istilah yang dapat menimbulkan prasangka tertentu.
3. Sering timbul ketidaksepakatan dalam istilah-istilah. Sedangkan tujuan argumenasi adalah menghilangkan ketidaksepakatan. Oleh sebab itu, pada saat pertama penulis menggunakan suatu istilah, ia harus membatasi pengertian istilah yang dipergunakan, agar dapat dihindarkan kemungkinan timbulnya ketidaksesuaian pendapat karena perbedaan pengertian. Pembatasan pengertian atau definisi sebuah istilah hanya sekedar merupakan proses pembentukan makna untuk meletakkan dasar-dasar persamaan pengertian bagi istilah yang akan digunakan itu, tetapi hal itu sangat penting supaya tujuan utama jangan diabaikan atau terganggu hanya karena timbul ketidaksepakatan baru mengenai istilah itu.
4. Pengarang harus menetapkan secara tepat titik ketidaksepakatan yang akan diargumentasikan.
Langkah-langkah penulis sebelum mengemukakan argument, diantaranya:
1. Proses pengumpulan bahan-bahan yang diperlukan. Ini merupakan latihan keahlian dan ketrampilan tersendiri, suatu latihan yang intensif dan akurat bagaimana seorang memperoleh informasi-informasi yang tepat untuk tiap obyek atau persoalan. Satu hal pokok yang harus diingat adalah oleh setiap penulis adalah penulis harus menyusun semua fakta, pendapat autoritas atau evidensi itu secara kritis dan logis, penulis harus mengadakan seleksi atas fakta-fakta dan autoritas, mana yang dapat dipergunakannya dan mana yang harus disingkirkannya.
2. Rencana penyusunan yang baik. Penulis harus siap dengan metode terbaik untuk menyajikannya dalam suatu bentuk atau suatu rangkaian yang logis dan meyakinkan. Bila penulis tidak memiliki rencana penyusunan yang baik, maka tampaknya apa yang diungkapkan itu tidak terarah, serta tidak terdapat hubungan antara fakta-fakta atau autoritas itu.
Argumentasi harus terdiri dari, pendahuluan adalah tidak lain dari pada menarik perhatian pembaca, memusatkan perhatian pembaca kepada argumen-argumen yang akan disampaikan, serta menunjukkan dasar-dasar mengapa argumentasi itu harus dikemukakan dalam kesempatan tersebut. Karena sebuah argumentasi harus memancarkan kebenaran atau sebuah tenaga yang kuat untuk mempengaruhi sikap pembaca, maka tidak boleh ada hal-hal yang kontroversial dimasukkan ke dalam pendahuluan. Penulis harus berusaha untuk menyegarkan kembali ingatan pembaca tentang latar belakang dan seluk-beluknya ssebelum memasuki argumentasi itu sendiri. Untuk menetapkan apa dan berapa banyak bahan yang diperlukan dalam bagian pendahuluan, maka penulis mempertimbangkan beberapa segi, yaitu (1) Penulis harus menegaskan mengapa persoalan itu dibicarakan pada saat ini. Bila dianggap waktunya tepat untuk mengemukakan persoalan itu, serta dapat dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa lainnya yang mendapat perhatian saat ini, maka fakta-faktanya merupakan suatu titik tolak yang sangat baik. (2) Penulis harus menjelaskan latar belakang historis yang mempunyai hubungan langsung dengan persoalan yang akan diargumentasikan, sehingga dengan demikian pembaca dapat memperoleh pengertian dasar mengenai hal tersebut. (3) Pendahuluan harus harus jelas dibedakan persoalan-persoalan yang menyangkut selera dan persoalan-persoalan yang membawa ke konklusi yang obyektif.
Tubuh argumen, pengarang harus terus-menerus menempatkan dirinya di pihak pembaca, misalnya dengan menanyakan: apakah evidensi itu dapat diterima bila ia berada di tempat pembaca, apakah evidensi itu sungguh-sungguh mempunyai pertalian dengan pokok persoalan, apakah tidak ada cara lain yang lebih baik, dan sebagainya. Perlu ditegaskan, pengungkapan evidensi itu harus merupakan suatu proses yang selektif, dengan menampilkan bahan-bahan yang terbaik saja serta menolak evidensi-evidensi yang kurang baik.
Kesimpulan dan ringkasan. Dengan tidak mempersoalkan topik mana yang dikemukakan dalam argumentasi, penulis harus menjaga agar konklusi yang disimpulkannya tetap memelihara tujuan, dan menyegarkan kembali ingatan pembaca tentang apa yang telah dicapai, dan kenapa konklusi-konklusi itu diterima sebagai sesuatu yang logis. Dalam tulisan-tulisan biasa, dimana tidak boleh dibuat kesimpulan-kesimpulan, maka dapat dibuat ringkasan dari pokok-pokok yang penting sesuai dengan urutan argumen-argumen dalam tubuh karangan itu.
II. Deskripsi
Deskripsi merupakan pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata suatu benda, tempat, suasana, atau keadaan. Seorang penulis deskripsi mengharapkan pembacanya, melalui tulisannya, dapat ‘melihat’ apa yang dilihatnya, dapat ‘mendengar’ apa yang didengarnya, ‘mencium bau’ yang diciumnya, ‘mencicipi’ apa yang dimakannya, ‘merasakan’ apa yang dirasakannya, serta sampai pada ‘kesimpulan’ yang sama dengannya.
Jika dituliskan dengan baik,artinya jika penulisnya mempunyai pengamatan yang tajam dengan semua alat-alat inderanya, kemudian menuliskannya dengan kata-kata yang tepat, deskripsi ini dapat merupakan tulang punggung penulisan yang ‘hidup’ dan ‘menawan’. Oleh karena itulah, untuk menuliskan sebuah deskripsi perlulah kita mengamati dengan tajam dengan memanfaatkan semua alat indera kita. Bukan hanya penglihatan saja, seperti yang banyak dilakukan oleh sebagian penulis pemula.
Ada berbagai cara menuliskan deskripsi, dan perbedaan-perbedaan ini timbul karena pada dasarnya tidak ada dua orang manusia yang mempunyai pengamatan yang sama, dan lagi pula tujuan pengamatan itu pun berbeda-beda pula. Misalnya, peristiwa tawar-menawar antara penjual dan pembeli sebuah mobil. Orang yang akan menjual mobil itu tentu saja memberikan deskripsi yang berbeda mengenai mobil yang dijualnya dibandingkan dengan deskripsi orang yang akan membeli. Apabila kemudian mereka pergi ke seorang ahli mobil untuk meminta pendapat, ahli ini pun tentu saja akan memberikan deskripsi yang berbeda pula. Mereka masing-masing melakukan pilihan terhadap informasi atau hasil observasi yang akan mereka ajukan, yang sesuai dengan apa yang ingin mereka capai dengan pengajuan informasi tersebut. Bentuk deskripsi ada dua macam, yaitu:
1. Deskripsi Ekspositori
Deskripsi ekspositori adalah yang sangat logis, yang isinya biasanya merupakan daftar rincian, semuanya, atau yang menurut penulisnya hal yang penting-penting saja, yang disusun menurut system dan urutan-urutan logis obyek yang diamati itu. Sebagai contoh, mendeskripsikan rangkaian kereta api, maka urutan-urutan logisnya agaknya pastilah dari depan, lokomotifnya, ke belakang, gerbong-gerbong yang mengekori lokomotif tadi. Seorang manusia rasanya akan lebih logis dideskripsikan dari atas ke bawah.
2. Deskripsi Impresionistis
Deskripsi impresionistis atau deskripsi stimulatif, adalah untuk menggambarkan impresi penulisnya, atau untuk menstimulir pembacanya. Bentuk deskripsi ini lebih menekankan impresi atau kesan penulisnya ketika melakukan observasi atau ketika menuliskan impresi tersebut. Urutan-urutan yang dipakai dalam deskripsi impresionis adalah menurut kuat-lemahnya kesan penulis terhadap bagian-bagian obyek itu. Misalnya, seseorang yang mendiskripsikan kamar asrama tempat temannya tinggal, dan bermaksud menonjolkan kejorokan yang dilihatnya di sana, agaknya akan mulai dengan bau yang diciuminya. Ini adalah yang paling alamiah, rangsangan bau jauh lebih besar pengaruhnya terhadap manusia dibandingkan dengan rangsangan penglihatan atau pendengaran. Dari apa-apa yang dilihatnya di kamar temannya itu, penulis tentulah akan mendahulukan apa yang menurut nilai dan norma yang dipegangnya palng penting, misalnya pakaian kotor bergantungan di mana-mana, atau kulit buah-buahan dan daun pembungkus makanan yang berserakan di sana-sini. Kemudian beralih ke pencahayaan di dalam kamar itu, pengaturan udara dan sebagainya.
III. Narasi
Berdasarkan buku yang berjudul ‘Menulis Secara Populer’ KARYA Ismail Marahimin, Narasi adalah cerita. Cerita ini didasarkan pada urutan-urutan suatu (atau serangkaian) kejadian atau peristiwa. Di dalam kejadian itu ada tokoh (atau beberapa tokoh), dan tokoh ini mengalami atau menghadapi suatu (atau serangkaian) konflik atau tikaian. Kejadian, tokoh, dan konflik merupakan unsur pokok sebuah narasi, dan ketiganya secara kesatuan biasa pula disebut plot atau alur. Dengan demikian narasi adalah cerita berdasarkan alur.
Narasi bisa berisi fakta, bisa pula fiksi atau rekaan, yang direka-reka atau dikhayalkan oleh pengarangnya saja. Yang berisi fakta adalah biografi (riwayat hidup seseorang), otobiografi (riwayat hidup seseorang yang ditulisnya sendiri), kisah-kisah sejati seperti “Pengalaman yang Tidak Terlupakan”, “Kisah Sejati”, dan lainnya yang banyak ditemukan di dalam media massa. Yang berisi rekaan atau fiksi adalah novel, cerita pendek, cerita bersambung, dan cerita bergambar.
Di dalam sebuah narasi, bisa terdapat sebuah alur saja, bisa pula lebih. Bisa pula terdapat sebuah alur utama dan beberapa buah alur tambahan atau sub-plot. Narasi yang tidak sempurna merupakan narasi yang tanpa konflik. Namun dalam kisah perjalanan, tekanan biasanya diberikan pada deskripsi atau penggambaran segala sesuatu yang diamati selama perjalanan itu, atau eksposisi yang menyingkapkan hal-hal yang selama ini tidak diketahui oleh orang, atau menjawab pertanyaan ‘Mengapa?’ dan ‘Bagaimana?’
Alur itu memiliki latar waktu dan latar tempat. Untuk mempertajam suatu kejadian, maka diperlukan beberapa latar lainnya seperti latar sosial, latar budaya, latar ekonomi, latar politik pemerintahan, dan berbagai latar lainnya. Warna lokal yang tajam menggambarkan bukan saja waktu dan tempat terjadinya peristiwa, tetapi juga sosial budaya serta semua hal-hal yang dibicarakan, sehingga cerita yang sama tidak bisa terjadi di tempat lain atau pada waktu yang lain. Disamping deskripsi yang teliti mengenai lokasi, benda-benda, tokoh-tokoh, serta kebiasaan-kebiasaan setempat di dalam sebuah cerita, ada pula penulis yang bahkan memasukkan dialek setempat, terutama di dalam percakapan atau dialog di antara tokoh-tokoh di dalam cerita, untuk mempertajam warna lokal. Namun harus dijaga jangan sampai karena kebanyakan bahasa setempat, dialog cerita tersebut menjadi tidak lagi dimengerti oleh pembaca, atau menimbulkan salah pengertian. Kisi-kisi diperlukan sebagai persiapan sebelum mulai menuliskan suatu cerita. Ini gunanya untuk menjaga agar tidak terjadi anakronisme, yaitu adanya orang atau kejadian yang salah waktu. Kisi-kisi ini pada dasarnya adalah suatu peta tokoh-tokoh terhadap perjalanan waktu.
Dalam Bahasa Inggris, istilah Point of View, dalam kaitannya dengan narasi, bukan saja berarti ‘sudut pandang’, tetapi lebih dalam dari itu, karena menyangkut struktur dramatikal sebuah narasi. Ini menyangkut siapa yang ‘bercerita’ di dalam narasi itu, dan ini sangat mempengaruhi struktur cerita. Oleh karena itu, Point of View di dalam buku Menulis Secara Populer, diterjemahkan dengan ‘posisi narator’.
Dalam sebuah narasi tentulah ada yang bercerita, yang menceritakan kepada pembaca apa saja yang terjadi. Pada satu ujung kita melihat ada cerita yang memakai ‘aku’ atau ‘saya’ sebagai tokoh utama dalam cerita itu. Dengan sendirinya apa yang kita dapatkan dari cerita itu adalah apa-apa yang dilihat, didengar, serta dialami oleh ‘aku’ itu. Jalan pikiran, pergolakan perasaan, dugaan, dan kesimpulan yang dihidangkan pun berasal dari ‘aku’ itu juga. Yang tidak dilihat, tidak didengar atau diketahuinya tentulah tidak bisa diceritakannya kepada kita. Jadi narator dalam cerita ini adalah pelaku utama. Narasi seperti itu sering disebut sebagai narasi dengan posisi ‘orang pertama’ atau ‘Aku-an’.
Pada ujung lain kita temukan cerita yang naratornya tidak kelihatan, tetapi dia mengetahui semua peristiwa, semua perasaan, dan pikiran semua tokoh di dalam cerita tersebut. Cerita seperti ini selalu memakai bentuk orang ketiga, yaitu ‘dia’. Posisi narator disini adalah seperti Tuhan yang serba tahu, yang omniscient, istilah inggrisnya. Narator dikatakan seperti mempunyai ‘mata Tuhan’, dan narasi seperti ini sering disebut sebagai narasi ‘Dia-an’.
Sebuah narasi dapat tersusun menurut berbagai pola. Yang paling sederhana kedengarannya agaknya adalah pola yang berasal dari Aristoteles (abad IV sebelum masehi). Menurutnya, sebuah narasi harus terdiri dari tiga bagian yaitu awal, tengah, dan akhir. Sangat sederhana, namun ada ekornya, karena ternyata Aristoteles memberikan tugas-tugas khusus kepada masing-masing bagian itu.
Bagian awal, menurutnya haruslah seperti mata pancing dengan umpan yang lezat, sehingga begitu orang membacanya, hatinya langsung terpaut. Bagian ini harus memperkenalkan tokoh-tokoh yang memainkan peranan di dalam cerita itu, serta memberikan latar belakang yang diperlukan untuk kelancaran cerita. Disamping itu, harus menyiratkan atau memberikan lanjaran, bagaimana kira-kira cerita itu akan berakhir. Maksudnya bukanlah, begitu orang membaca awal itu dia langsung mengetahui bagaimana kelanjutan dan akhir cerita nantinya. Akhir yang baik itu selalu harus mengejutkan.
Bagian tengah dimulai ketika di dalam cerita tersebut mulai muncul komplikasi, tikaian atau keruwetan, yang menjurus ke konflik. Kemudian ini menuju ke titik krisis konflik yang terakhir, yang paling menentukan, yang dinamakan klimaks.
Konflik itu biasanya memang diakhiri dengan sebuah ledakan yang biasanya disebut klimaks. Ibarat letusan gunung berapi, awalnya adalah ketika tekanan uap atau gas di dalam gunung itu mulai meninggi (komplikasi, yang membawa atau menuju ke konflik). Kemudian ada letusan-letusan kecil, ada semburan abu, batu, asap, dan api (konflik), dan pada akhir sekali tibalah letusan itu, yang dahsyat dan mencampakkan separuh puncak gunung itu (klimaks).
Sesudah letusan itu, semuanya kembali tenang. Para penduduk yang selamat kembali ke bakas rumah masing masing atau bertransmigrasi. Bantuan kemanusiaan pun berhenti mengalir, dan kehidupan baru segera dimulai. Itulah tamsilan akhir narasi menurut Aristoteles.
Berdasarkan pada buku yang berjudul ‘Argumentasi dan Narasi’ karya Gorys Keraf, pengertian narasi mencakup dua unsur dasar yaitu perbuatan atau tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu. Apa yang telah terjadi tidak lain dari pada tindak-tanduk yang dilakukan oleh orang-orang atau tokoh-tokoh dalam suatu rangkaian waktu. Narasi mengisahkan suatu kehidupan yang dinamis dalam suatu rangkaian waktu.
Narasi dibatasi sebagai suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu. Atau dapat juga, narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi. Ada narasi yang hanya bertujuan untuk memberi informasi kepada para pembaca, agar pengetahuannya bertambaha luas, yaitu narasi ekspositoris. Disamping itu juga ada narasi yang disusun dan disajikan sekian macam, sehingga mampu menimbulkan daya khayal para pembaca. Ia berusaha menyampaikan sebuah makna kepada para pembaca melalui daya khayal yang dimilikinya, narasi semacam ini disebut narasi sugestif.
1. Narasi Ekspositoris
Narasi ekspositoris bertujuan untuk menggugah pikiran para pembaca untuk mengetahui apa yang dikisahkan. Sasaran utamanya adalah rasio, yaitu berupa perluasan pengetahuan para pembaca sesudah membaca kisah tersebut. Narasi ekspositoris mempersoalkan tahap-tahap kejadian, rangkaian-rangkaian perbuatan kepada para pembaca. Narasi ekspositoris dapat bersifat generalisasi dan bersifat khas atau khusus.
Narasi ekspositoris yang bersifat generalisasi adalah narasi yang menyampaikan suatu proses yang umum, yang dapat dilakukan siapa saja, dan dapat pula dilakukan secara berulang-ulang. Misalnya suatu wacana naratif yang menceritakan bagaiman seorang menyiapkan nasi goring, bagaimana membuat roti, bagaimana membangun sebuah kapal dengan mempergunakan bahan fero-semen, dan sebagainya. Narasi itu menyampaikan proses yang umum, yang dapat dilakukan siapa saja, dan dapat dilakukan berulang kali.
Narasi yang bersifat khusus adalah narasi yang berusaha menceritakan suatu peristiwa yang khas, yang hanya terjadi satu kali dan yang tidak dapat diulang kembali, karena merupakan kejadian pada suatu waktu tertentu saja. Misalnya narasi mengenai pengalaman seseorang yang pertama kali masuk sebuah perguruan tinggi, pengalaman seorang pertama kali mengarungi samudera luas, pengalaman seorang gadis yang pertama kali menerima curahan kasih dari seorang pria idamannya.
2. Narasi Sugestif
Seluruh rangkaian kejadian itu berlangsung dalam suatu kesatuan waktu. Tujuan atau sasaran utamanya adalah berusaha member makna atas peristiwa atau kejadian itu sebagai suatu pengalaman, maka narasi sugestif selalu melibatkan daya khayal (imajinasi).
Narasi sugestif merupakan suatu rangkaian peristiwa yang disajikan sekian macam sehingga merangsang daya khayal para pembaca. Pembaca menarik suatu makna baru di luar apa yang diungkapkan secara eksplisit, yaitu sesuatu yang tersurat mengenai obyek atau subyek yang bergerak dan bertindak, sedangkan makna yang baru adalah sesuatu yang tersirat.
Perbedaan pokok antara narasi ekspositoris dan narasi sugestif adalah:
Narasi Ekspositoris | Narasi Sugestif |
1. Memperluas pengetahuan. | 1. Menyampaikan suatu makna atau suatu amanat yang tersirat. |
2. Menyampaikan informasi mengenai suatu kejadian. | 2. Menimbulkan daya khayal. |
3. Didasarkan pada penalaran untuk mencapai kesepakatan rasional. | 3. Penalaran hanya berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan makna, sehingga jika perlu penalaran dapat dilanggar. |
4. Bahasanya lebih condong ke bahasa informatif dengan titik berat pada penggunaan kata-kata denotative. | 4. Bahasanya lebih condong ke bahasa figuratif dengan menitikberatkan penggunaan kata-kata konotatif. |
IV. Eksposisi
Eksposisi itu adalah menyingkapkan. Sesuatu yang disingkapkan itu adalah sesuatu yang selama ini tertutup, terlindungi, atau tersembunyi, yaitu buah pikiran atau ide, perasaan atatu pendapat penulisnya, untuk diketahui orang lain. Di dalam eksposisi, sesuatu yang akan diungkapkan ini disebut thesis. (Ini kira-kira sama dengan apa yang disebut dengan ‘tema’ ketika kita membicarakan narasi). Jika kita ‘gambarkan’ ragangan, kerangka, atau yang biasa disebut di dalam Bahasa Inggris outline, eksposisi itu adalah:
a. Tesis
b. 1. Kelas I (pembuktian pertama)
2. Kelas II (pembuktian kedua)
3. Kelas III (pembuktian ketiga)
4. dst. (Kelas/pembuktian berikutnya)
c. Kesimpulan
a. Tesis
Tesis adalah inti sebuah eksposisi. Misalkan, kita ingin menyingkapkan buah pikiran kita, misalnya bahwa ‘seharusnya merokok dilarang di negeri ini. Dengan sendirinya, itulah tesis. Tesis ini dapat diungkapkan dalam sebuah kalimat yang utuh: “… seharusnya merokok dilarang di Indonesia”. Namun, tesis ini dapat pula hanya disiratkan dengan berbagai cara di dalam sebuah paragraf, sehingga tidak diungkapkan dalam sebuah kalimat atau penggal kalimat.
b. Kelas-kelas
Uraian yang mendukung atau membuktikan kebenaran tesis ini disebut kelas-kelas. Di dalam sebuah eksposisi yang baik biasanya ada beerapa kelas. Jika penulisnya ingin mengajukan tiga pembuktian, yaitu tiga argumentasi untuk mendukung tesisnya, maka dikatakan bahwa eksposisi itu mempunyai tiga kelas. Masing-masing kelas biasanya dituangkan ke dalam sebuah paragraf yang terpisah. Dengan demikian, maka ada eksposisi dengan empat kelas, lima kelas, dan seterusnya.
c. Kesimpulan
Sebelum mengakhiri eksposisi, haruslah kita simpulkan kembali apa-apa yang kita katakana dalam tesis. Ada satu hal yang harus diingat, sesuai dengan tujuan menuliskan sebuah eksposisi, kesimpulan haruslah sejalan, bahkan memperkuat tesis, sehingga ada ahli yang mengatakan bahwa sebenarnya kesimpulan itu adalah ‘tesis dengan perkataan lain’. Dalam hal contoh mengenai larangan merokok diatas, kesimpulannya adalah “Melihat besarnya kerusakan dan kerugian yang ditimbulakan rokok, agaknya sudah sepatutnya pemerintah negeri ini segera turun tangan untuk melarang rakyat merokok di seluruh wilayah republik yang masih berusaha menyukseskan pembangunan ini.”
Dari penjelasan diatas, terlihat bahwa eksposisi lebih menekankan bentuk dari pada isi. Isinya memang menyingkap sesuatu, tetapi bentuknya harus seperti apa yang diungkapkan: dengan tesis, kelas-kelas, dan kesimpulan. Aristoteles merumuskan suatu acuan untuk menuangkan uneg-uneg, untuk menyingkapkan segala buah pikiran, ide, pendapat dan perasaan.
Tesis adalah suatu pernyataan baik atau buruknya mengenai suatu realita. Maksudnya, yang umum atau lazim. Kelas-kelas yang mendukung tesis itu pun biasanya realita pula. Namun tidak jarang pula kita temukan eksposisi yang mengutip serta menambahkan fakta-fakta, baik ke dalam paragraf tesis, kelas-kelas, maupun kesimpulan. Hal-hal ini kita dapati dalam terutama dalam tulisan-tulisan ilmiah.
Sumber :
Keraf Gorys, Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989.
Keraf Gorys, Deskripsi dan Eksposisi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989.
Marahimin Ismail, Menulis Secara Populer. Jakarta: 1999.
apa saya boleh mendapat contoh eksposisi dari dalam buku tsb ?
BalasHapusTiket Pesawat Murah Online, dapatkan segera di SELL TIKET Klik disini:
BalasHapusselltiket.com
Booking di SELLTIKET.COM aja!!!
CEPAT,….TEPAT,….DAN HARGA TERJANGKAU!!!
Ingin usaha menjadi agen tiket pesawat??
Yang memiliki potensi penghasilan tanpa batas.
Bergabung segera di agne.selltiket.com
INFO LEBIH LANJUT HUBUNGI :
No handphone :085365566333
PIN : 5A298D36
Segera Mendaftar Sebelum Terlambat. !!!