Following Me are:

Jumat, Oktober 29, 2010

PENGERTIAN DAN SYARAT-SYARAT IJTIHAD

Oleh Dwi Putri Rahmawati, 0806319860

Judul : Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah

Pengarang : KH. Ibrahim Hosen

Data Publikasi : Jakarta:Yayasan Paramadina, 1996

Menurut bahasa, ijtihad berarti bersungguh-sungguh, bersusah payah, menggunakan segenap kemampuan. Maka, sebagian kaum muda beranggapan bahwa jika mereka bersusah payah menggali hukum syar’iyyah dengan segenap ilmunya yang sangat minim dan segenap kemampuan akalnya yang dangkal, itu adalah ijtihad. Dalam tulisan ini, Penulis akan membahas tentang pengertian ijtihad dan syarat-syarat berijtihad.

Namun dikalangan ulama, ijtihad khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (fuqoha) untuk mengetahui hukum syari’at. Adapun Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syari’at. Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunah Rasul.

Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum islam). Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).

Seseorang yang ingin mendudukan dirinya sebagai mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma’ agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma’. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum. Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik yang merupakan kemukjizatan Al-Qur’an. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an dan Hadist supaya ia tidak mempergunakan ayat Al-Qur’an atau Hadist Nabi yang telah dinasakh untuk menggali hukum. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbabul nuzul) dan latar belakang suatu Hadist (asbabul wurud) agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara tepat. Mengetahui sejarah para periwayat Hadist supaya ia dapat menilai suatu Hadist, apakah Hadist itu dapat diterima atau tidak, sebab untuk menentukan nilai atau derajat suatu Hadist sangat tergantung dengan ihwal perawi yang disebut dengan istilah sanad Hadist. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadist, kita tidak mungkin melakukan ta’dil tajrih (screening). Mengetahui ilmu logika atau mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum dan sanggup mempertahankannya. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh agar dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan diketahuinya.

Bagi orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad, baik mereka ulama maupun awam, haram bagi mereka untuk berijtihad karena ijtihad yang dilakukannya justru akan membawa pada kesesatan. Allah berfirman yang artinya, “Allah tidak memberi pembenahan kewajiban kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.” Orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad wajib mengikuti pendapat imam mujtahid yang mu’tabar atau meminta penjelasan hukum kepada ahl al-dzikr, sejalan dengan firman-Nya, ”Bertanyalah kepada ulama apabila kamu tidak mengerti.” (QS. Al-Nahl:43).

Bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad maka wajib bagi mereka untuk berijtihad dan mengamalkan hasil ijtihadnya. Bagi orang-orang yang mampu berijtihad sendiri karena telah memenuhi persyaratannya, janganlah mengikuti atau bertaqlid kepada mujtahid lain, tetapi wajib berijtihad sendiri.

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ijtihad merupakan sarana paling efektif untuk mendukung tetap tegak dan eksisnya hukum Islam serta menjadikannya sebagai tatanan hidup yang up to date yang sanggup menjawab tantangan zaman. Ijtihad akan berfungsi dan berdayaguna apabila ijthad dilakukan oleh para ahlinya (mereka yang memenuhi persyaratan dan dilakukan pada tempatnya sesuai dengan ketentuan yang telah diakui kebenaran dan kesalahannya). Ijtihad akan membawa kejayaan bagi Islam dan umatnya jika hal itu dilakukan oleh orang yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di tempat-tempat yang diperbolehkan memainkan peranan ijtihad. Islam akan mengalami kehancuran dan bencana serta malapetaka bagi umatnya jika ijtihad dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi persyaratan. Untuk menggalakkan ijtihad agar menjadikan hukum Islam ini dinamis dan lincah perlu diadakannya studi fiqih perbandingan lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya perguruan tinggi. Maka dari itu, marilah kita menjadi mujtahid yang benar, mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajaran agama Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Yoga, Guruh. “Ijtihad dan Mujtahid” Style sheet http://hotarticle.org/ijtihad-dan-mujtahid/ (16 Februari 2009)

3 komentar: