Following Me are:

Jumat, Oktober 29, 2010

Pengaruh Budaya Politik di Dalam Sistem Indonesia Pada Masa Orde Baru

Menurut Ranney, budaya politik merupakan bertemunya hasil pelembagaan yang ada di dalam diri manusia dengan hasil pelembagaan pada pihak lain. Sebagai contoh, orientasi masyarakat terhadap budaya suap (kecenderungan orang untuk memberi tips kepada petugas dalam mempermudah urusannya).

Transnasionalisasi budaya politik diantaranya, arus globalisasi akibat revolusi informasi dan teknologi memungkinkan terjadinya “pengaburan” atau bahkan “penghapusan” batas-batas budaya antar bangsa atau antar negara. Globalisasi menjadi sarana terjadinya transnasionalisasi budaya politik dari tingkat lokal, nasional, hingga global. Isu budaya lokal menjadi perhatian berbagai kelompok di lintas negara, sebaliknya isu global (demokrasi atau lingkungan hidup) menjadi diskusi yang intensif di suatu komunitas lokal.

Menurut Clifford Geertz, budaya politik di Indonesia yaitu masyarakat Jawa dibedakan menjadi kaum priyayi, abangan, dan santri. Moderenisasi memfasilitasi pembentukan atau perubahan kebudayaan politik. Budaya politk local tersubordinasi karena sentralisasi, kemudian kebudayaan lokal muncul dan menguat karena desentralisasi atau demokratisasi.

Dinamika perkembangan politik di Indonesia bila dipandang dalam perspektif sejarah, merupakan suatu mata-rantai proses yang berkesinambungan, dan ada hubung-kaitnya. Oleh karena itu, dalam melihat situasi terbentuknya suatu birokrasi dalam kurun waktu tertentu, tidaklah dapat dipisahkan dengan akar budaya politik yang mendahuluinya. Hukum sejarah menjelaskan, bahwa masa kini adalah produk dari masa lampau. Namun, dalam perkembangan selanjutnya terdapat pengaruh zaman dalam proses sejarah, munculnya bentuk birokrasi baru. Bentuk birokrasi baru meskipun berbeda dengan birokrasi masa lampau, namun masih sering tampak sisa-sisa lama tercermin dalam birokrasi baru.

Akar budaya politik di Indonesia dipengaruhi oleh idiologi dan struktur perpolitikan penguasa, termasuk di dalamnya kerajaan-kerajaan, penguasa kolonial, dan penguasa pendudukan Jepang di Indonesia. Ketiganya memberikan andil sebagai akar budaya politik, sehingga pada perkembangan selanjutnya sering muncul dalam dinamika perkembangan politik di Indonesia dan juga perkembangan perekonomiannya.

Kerajaan-kerajaan di Indonesia pada umumnya memiliki sistem feodal yang sama. Khususnya di Jawa, antara pemegang kekuasaan dan gejala kekuasaan dipandang sebagai suatu kesatuan yang nyata. Oleh karena itu, kegiatan politik dianggap berpusat pada si pemegang kekuasaan, dan struktur politik menggantung dalam bentuk jaringan-jaringan vertikal yang saling bersaingan untuk memperoleh perlindungan pribadi dari pemegang kekuasaan. Hal itu mempunyai kaitan erat dengan munculnya patrimonial, yaitu adanya ikatan pada sistem kesetiaan hubungan pribadi yang hirarkis dan otoriter.

R.W. Liddle berpendapat, bahwa karakter Jawa mempengaruhi politik Indonesia pada era Orde baru, rezim yang berkuasa sekarang ini bersandar pada jaringan-jaringan pribadi antara patronklien serta penyokongnya. Oleh karena itu, birokrasi yang berjalan merupakan bentuk patrimonial, seperti halnya pada kerajaan Jawa, raja memberikan appanage kepada para pendukungnya, para klient dan keluarganya. Bentuk appanage baru yang kini dibagi-bagikan itu berwujud, antara lain, jabatan dalam pemerintahan, jabatan-jabatan dengan kekuasaan mengalokasikan lisensi impor dan ekspor.

Disamping sistem patrimonial, dalam masyarakat Jawa juga terdapat pembagian kultural antara abangan dan santri. Antara abangan dan santri sering terjadi persaingan kekuatan dalam kekuasaan. Pada mulanya kaum santri mempunyai kekuasaan tertinggi diatas kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Seperti kerajaan Giri, sebuah kerajaan yang dipimpin oleh ulama, mempunyai wewenang untuk melantik dan memberi gelar raja-raja Jawa, sehingga disebut dengan Paus Van Java. Namun, setelah Mataram berdiri, tidak lagi mengakui kekuasaan Giri, bahkan raja Mataram langsung bergelar sebagai “Sayidin panatagama kalifatullah ing Tana Jawa”, yaitu raja merangkap penata agama dan wakil Tuhan di Jawa. Para santri atau ulama hanya diangkat sebagai aparatur birokrasi dibawah raja. Situasi yang demikian itu sering menimbulkan konflik kultural antara raja dan perangkat birokratnya dengan santri yang ingin mengembalikan kekuatannya. Dalam hal ini raja (birokrasi atau priyayi) didukung oleh kaum abangan dalam menentang kaum santri.

Konflik kekuatan kultural antara santri di satu pihak berhadapan dengan birokrasi dan kaum abangan dipihak lain selalu muncul dalam percaturan politik. Pada zaman Orde Baru konflik itu muncul kembali, yaitu kaum santri berhadapan dengan kaum abangan dan priyayi (yang diwakili oleh penguasa militer). Dalam hal ini menunjukkan bahwa Orde baru tidak mampu merujukkan kekuatan kultural, santri dan abangan.

Penguasa militer dalam Orde baru berdiri mewakili tradisi kultural abangan dan priyayi, dan tidak berusaha mengintegrasikan kaum santri, namun justru membendung oposisi santri dengan depoltisasi. Di Indonesia pemerintahan birokratis sangat berhasil dalam meniadakan peran serta sementara kekuatan dalam masyarkat, dan mengkooptasi pemimpin-pemimpin lainnya dalam kerangka jaringan patron-kilen, yang kadangkala diperlukan untuk menghadapi tuntutan golongan Islam.

Dalam mekanisme politik zaman Orde Baru partai Islam sedikit demi sedikit mengalami pasifikasi, sehingga aspirasi politik Islam makin lama makin surut. Diluar partai Islam, terdapat pula aspirasi politik yang cukup kuat, namun selalu mendapat perhatian khusus dan pengawasan yang ketat. Sering munculnya letupan konflik antara birokrasi dengan kelompok Islam, seperti kasus Komando Jihad, Peristiwa Tanjung Priok. Apakah peristiwa tersebut murni dari kelompok Islam, oleh karena ketidakpuasan dengan birokrasi, atau merupakan sebuah skenario untuk memancing kelompok Islam berbuat destruktif, kemudian lebih mudah mengontrol dan menekannya.

Menurut Afan Gaffar (Gaffar, 2004:106-118) budaya politik Indonesia yang dominan adalah yang berasal dari etnis Jawa, kecenderungan kepada patronage dan kecenderungan neo-patrimonialistik. Rusadi Kantaprawira, memberikan gambaran sementara tentang budaya politik Indonesia adalah sebagai berikut (Kantaprawira, 1999:37-39):

1. Konfigurasi subkultur di Indonesia masih beraneka ragam. Keanekaragaman subkultur ini ditanggulangi berkat usaha pembangunan bangsa (nation building) dan pembangunan karakter (character building).

2. Budaya politik Indonesia bersifat parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan dilain pihak; di satu segi massa masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan dalam memikul tanggungjawab politiknya - yang mungkin disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, ikatan primordial - sedang di lain pihak kaum elitnya sungguh-sungguh merupakan merupakan partisipan yang aktif – yang kira-kira disebabkan oleh pengaruh pendidikan moderen – kadang-kadang bersifat sekuler dalam arti relatif dapat membedakan faktor-faktor penyebab disintegrasi seperti agama, kesukuan dan lainnya, dengan kata lain kebudayaan politik Indonesia merupakan “mixed political culture” yang diwarnai dengan besarnya pengaruh kebudayaan politik parokial-kaula.

3. Sifat ikatan primordial yang masih berurat berakar yang dikenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; puritanisme dan nonpuritanisme dan lain-lain. Di samping itu, salah satu petunjuk masih kukuhnya ikatan tersebut dapat dilihat dari pola budaya politik yang tercermin dalam struktur vertikal masyarakat di mana usaha gerakan kaum elit langsung mengeksploitasi dan menyentuh substruktur sosial dan subkultur untuk tujuan perekrutan dukungan.

4. Kecenderungan budaya politik Indonesia yang masih mengkukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat disebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak senang. Di Indonesia, budaya politik tipe parokial kaula lebih mempunyai keselarasan untuk tumbuh dengan persepsi masyarakat terhadap obyek politik yang menyandarkan atau menundukkan diri pada proses output dari penguasa.

5. Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan segala konsekuensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.

Varibel-variebel tersebut di atas terjali satu sama lain, berinteraksi, bersilangan, kadang-kadang berkoinsidensi yang bentuk potret sementaranya bergantung pada variabel tertentu yang relatif paling dominan. Akibat budaya politik seperti ini, dampak yang menonjol selama orde baru adalah kolusi, korupsi dan nepotisme. Pengangkatan seseorang pada jabatannya cenderung bukan berdasarkan prestasi tetapi pada kolusi atau nepotisme, peraturan tentang pengangkatan ada tetapi tidak ditaati.

Bentuk-bentuk mempolitisasi agama ini dapat dilakukan dengan dua cara pertama dengan menggunakan dari ayat-ayat tertentu dari agama yang dapat membenarkan tindakan yang dilakukan dan dua dengan mengerahkan massa turun ke jalan, apakah itu dalam bentuk demonstrasi atau pawai dijalanan istilah lainnya “tekanan dari jalanan”.


DAFTAR PUSTAKA

Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin, Profil Budaya Politik Indonesia. Jakarta: graffiti, 1991

Donald Emmerson : “Indonesia’s Elite; Political Culture and Cultural Politics” makalah dalam seminar Departemen Politik , Monash University, 1977, hlm. 5. Dimuat dalam majalah Indonesia, no. 31, April 1981.

Rahmat, Arifin, Sistem Politik Indonesia. Surabaya: Penerbit SIC, 1998.

“Budaya Politik Indonesia” dalam http://gloryofdhii.blogspot.com/2008/08/budaya-politik-indonesia.html, diakses pada 14 Maret 2009, 13:23 WIB.

“Reformasi Total sebagai Reformasi Kultural oleh Alois A. Nugroho“, dalam http://www.seasite.niu.edu/indonesian/Reformasi/Kompas_perbandingan/refo45.htm, diakses pada 23 Februari 2009, 12:13 WIB.

“—“ dalam http://pnlh.walhi.or.id/content/view/110/28/, diakses pada 23 Februari 2009, 12:13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar